Opini

NU dalam Dimensi Waktu

×

NU dalam Dimensi Waktu

Sebarkan artikel ini
NU dalam Dimensi Waktu

Oleh: Om Jo

NU adalah organisasi yang setia pada tradisi Islam. Kesetiaan pada tradisi ditegaskan sendiri oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong pada ahlus-sunnah wal-jamaah yang berarti penganut tradisi (kebiasaan) Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar (mayoritas) ummat Islam, begitu tullis Harun Nasution, 1985.

Sedangkan KH Ahmad Shiddiq, menjabarkan arti ahlus-sunnah wal-jamaah adalah “ajaran Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw, bersama para Sahabatnya,”begitu Choirul Anam mencatat, 1986.

Tetapi kemudian pengertian ahlus-sunnah wal-jamaah berkembang. Iamerupakan penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan pembaharuan bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Qur’an dan Hadits saja.

Tetapi juga harus melalui jenjang tertentu, yaitu; Ulama, Madzhab, Hadits (Sunnah), dan pada akhirnya pada sumber utama Qur’an itu sendiri.

Itulah sebabnya, pengertian ahlus-sunnah wal-jamaah bagi NU adalah “para pengikut Nabi Muhammad Saw, dan ijma’ ulama,” demikian tulis Zamakhsyari Dhofier, 1983.

PEMIKIRAN SUNNI

Sunni dalam salah satu ekspresi aktualnya, adalah gerakan pemikiran yang lahir dengan membawa corak, identitas dan sikap sosial yang toleran (tasamuh), moderat (tawassut) dan tidak anarkis (i’tidal).

Sikap-sikap dasar tipikal Sunni ini, merupakan prinsip yang dibangun sebagai respons atas berbagai anomali sosial atau disintegrasi POLITIK yang muncul pada awal sejarah Islam.

Dengan sikap dasar itu, sebenarnya Sunni bisa dengan mudah untuk melakukan adaptasi dan akomodasi terhadap bentuk perubahan sosial dan politik yang terjadi di kawasan dunia manapun dan dalam DIMENSI WAKTU kapan pun.

Hal ini bisa terjadi karena sikap-sikap dasar itu dengan sendirinya akan melahirkan tolak-tarik dalam menyikapi setiap perubahan atau realitas.

Dalam setting sejarah tertentu, intelektual Sunni sering merupakan kelompok yang sangat adaptif dan akomodatif, terutama bila berhadapan dengan kekuasaan.

Bukan hanya kompromis terhadap kekuasaan, bahkan cenderung menjadi penguasa itu sendiri. Sikap-sikap dasar itu sesungguhnya dirumuskan di atas cita-cita kemanusiaan yang mulia;yaitu mewujudkan kemaslahatan ummat manusia._

Artinya, pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kepentingan umum, tetap merupakan faktor yang ikut menentukan warna dan corak pemikiran serta sikap sosial intelektual Sunni.

Kaum intelektual Sunni abad klasik dan pertengahan, misalnya, secara umum muncul di tengah realitas politik negara yang relatif tidak stabil, bahkan sudah muncul indikasi disintegrasi.

Sikap seperti ini diambil bukan semata-mata sebagai tidak keberdayaan mereka didepan penguasa, tetapi ada yang lebih esensial dari itu, yaitu demi tercapainya kemaslahatan umum.

Dalamasumsi mereka, kemaslahatan dan keadilan tidak mungkin diwujudkan dalam suasana yang tidak stabil dan kacau.

Karenanya, disamping cenderung menjustifikasi kekuasaan (bahkan ikut berpolitik. untuk mencapai kekuasaan), mereka juga merumuskan beberapa hak dasar rakyat atas penguasa, seperti hak untuk tidak taat ketika penguasa melakukan maksiat atau korup.

Akan tetapi, pemihakan terhadap hak rakyat sering terlupakan.Yang teringat justru hak penguasa atau calon penguasa.Apalagi ada doktrin dalam ushul figh yang berbunyi; apa yang tidak bisa diambil seluruhnya, jangan dilepas semuanya.

Karena paradigma ahlus-sunnah wal-jamaah seperti itu, maka kaum Sunni sering berkompromi dengan kekuasaan atau bahkan cenderung ingin menjadi penguasa itu sendiri (atau tarikannya begitu kuat untuk berpolitik praktis).

Bahkan keputusan-keputusan yang diambil oleh NU misalnya, sering aneh atau tidak masuk akal.

Pada tahun 1952, ketika NU tidak diberi jatah menteri agama oleh Masyumi, maka NU mendekati calon penguasa lain, yaitu Wilopo dari PNI dan secara aneh malah keluar dari Masyumi; sebuah partai yang ber-asas sama dengan NU; Islam.

Pada tahun 1955, dalam kampanye pemilu, NU memprovokasi rakyat dan mengatakan Masyumi terlibat DI/TII.

Akibatnya, rakyat banyak membenci Masyumi. Denganparadigma seperti itu pula, maka NU bergabung dalam koalisi NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis) yang digagas oleh Soekarno.

Padahal tindakan ini amat sangat berbahaya. Saat itu gagasan NASAKOM dibenci mayoritas ummat Islam karena menindas dan memberi peluang besar PKI untuk berkuasa.

Untung saja, SUBCHAN ZE dengan GP Ansor-nya, meniup pluit perlawanan terhadap NASAKOM.

Gerakan Subchan ini kemudian menggelinding bagai bola salju dan menjadi mayoritas di NU.

Maka ketika Soekarno jatuh, selamatlah NU dari pengadilan rakyat yang menimpa pendukung NASAKOM yang lain, yakni PKI dan PNI.

Dengan paradigma ahlus-sunnah wal-jamaah seperti di atas itu pula, maka sikap NU dan kiai-kiainya pasca pendiskriditan PPP dan PDI oleh penguasa Orde Baru (ORBA) tahun 1973 ke atas, cenderung akomodatif dan kompromis terhadap rezim Soeharto._

Bahkan banyak kiai-kiai NU yang berpolitik melalui GOLKAR dan menjadi anggota legeslatif.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kritis terhadap Soeharto tahun 1980-an, kemudian tahun 1997 menjadi lunak dan menggandeng Mbak Tutut keliling-keliling dalam kampanye GOLKAR.

Om Jo, Satelit

 

KPU Bangkalan