BudayaOpini

Nyaba’ Oca’, Sakralitas Ucapan Manusia Madura

×

Nyaba’ Oca’, Sakralitas Ucapan Manusia Madura

Sebarkan artikel ini
Lamaran
Nyaba’ Oca’, Sakralitas Ucapan Manusia Madura. (By Design A. Warits/Mata Madura)

Oleh: Syarifah Isnaini*

Manabi sape e tegghu’ tongarra,
jharan etegghu’ kodhalina,
nangeng manabi manossa etegghu’ lesanna

Tiga baris kalimat di atas merupakan cab-ocabhan atau ungkapan yang jamak dikenal oleh kalangan masyarakat Madura. Mengambil pijakan tentang tema pegangan, aforisme tersebut kurang lebih memahamkan bahwa apabila sapi dan kuda dipegang dari sisi tali kendali di badannya, maka manusia akan dipegang dari sisi mulutnya (ucapannya). Lebih gamblang, adagium di atas menegaskan bahwa salah satu ihwal penting dari manusia adalah kebenaran dan akurasi ucapannya.

Sekilas ungkapan di atas mungkin saja terbaca sederhana, akan tetapi ia menunjukkan bahwa penilaian terhadap manusia dari aspek perkataan bukan perkara isapan jempol semata. Sifat ucapan manusia Madura menjadi penanda di mana dan kepada siapa seseorang harus meletakkan dan mempertaruhkan kepercayaannya.

Tutur kata manusia Madura pada urusan profan menjadi sesuatu yang substansial bagi manusia sekitarnya, lebih-lebih dalam perkara sakral. Sebagai amsal, pada ihwal proses penyatuan dua manusia dalam ikatan pernikahan mereka mengenal istilah nyaba’ oca’. Sebutan ini terjadi dalam budaya Madura menjelang dilangsungkannya pertunangan antara muda-mudi di pulau dengan empat kabupaten tersebut.

Menilik definisi Kamus Madura-Indonesia Kontemporer, nyaba’ oca’ atau nyaba’ caca didefinisikan sebagai aktivitas melamar perempuan oleh kerabat dekat sebelum dilangsungkannya acara pertunangan. Adapun secara harfiah nyaba’ oca’ dapat diartikan sebagai kegiatan peletakan atau penempatan ucapan.

Penggunaan kata peletakan ucapan pada istilah nyaba’ oca’ sebagai penegasan akan terjadinya pembicaraan mengenai kepastian seorang pemuda untuk meminang perempuan yang diinginkannya melalui perantara terpilih. Kepastian pembicaraan ini lantas dilanjutkan dengan acara pertunangan setelah diketahui tidak adanya halangan akan niat baik tersebut.

Nyaba’ oca’ sebagaimana maknanya lazim dilakukan oleh figur Madura terpercaya sebagai utusan pihak laki-laki. Menukil sekian banyak nilai-nilai filosofis orang Madura, rata-rata masyarakat di sana biasa memilih orang yang ekenning tale’e cacana (dapat dipegang omongannya) dalam urusan menempatkan pembicaraan mengenai keseriusan perjaka terhadap perempuan. Menilik pribadi yang dapat melakukan proses nyaba’ oca’, lekas dipahami konsistensi karakter orang Madura di mana koko oca’na atau keteguhan ucapan menjadi salah satu identitas mereka dalam berperilaku di tengah-tengah komunitas.

Pada sisi keluarga perempuan yang menerima delegasi untuk nyaba’ oca’, kedatangan wakil dari pihak laki-laki menjadi penanda akan berlangsungnya pembicaraan serius di antara para pihak terkait. Biasanya proses nyaba’ oca’ berlangsung secara senyap tanpa melibatkan banyak orang dengan tidak melupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi. Pada proses nyaba’ oca’, utusan keluarga laki-laki akan memastikan status perempuan yang akan dipinang di samping menyepakati hal-hal substansial serupa bawaan yang disyaratkan pada acara pertunangan.

Menyoroti istilah nyaba’ oca’, tampaknya ia bukan sekadar terma yang tanpa sengaja digunakan oleh manusia Madura sehubungan dengan perihal peminangan seorang perempuan. Sebab, bisa saja penduduk di pulau dengan kekhasan sate ini menggunakan istilah lain untuk menggambarkan proses awal bagaimana mereka mempersunting perempuan.

Terdapat beberapa alternatif istilah yang bisa digunakan seperti madhapa’ caca dan atanya reng bine’ serta beragam istilah sejenis lainnya. Hanya saja bukan itu yang digunakan masyarakat Madura, melainkan nyaba’ oca’-lah yang menjadi opsi terpilih. Nyaba’ di mana secara semantik seharusnya ia dekat dengan pengertian sebuah benda yang diletakkan pada posisi tertentu justru di Madura rekat dengan prosesi pertunangan dan perbincangan.

Nyaba’ jika digunakan pada konteks benda seyogyanya tidak hanya dipahami sebagai aktivitas menyerahkan, tetapi juga sekaligus meletakkan objek pada sebuah tempat tertentu. Bukan tidak mungkin istilah nyaba’ oca’ menjadi sebuah ta’kid sebagai penanda keseriusan para pihak yang bermaksud mempersunting calon suami atau istri. Kehendak para pihak terkait kemudian tidak hanya disampaikan kepada pihak yang akan dipinang, akan tetapi juga digambarkan sakralitasnya serupa benda yang diletakkan dan kemudian tidak mudah diambil kembali.

Pemilihan kata oca’ atau ucapan sebagai simbol pembuka jalan pertunangan juga melambangkan bahwa janji manis dan PHP yang notabene melekat dengan ujaran bukanlah karakteristik orang Madura. Ucapan menempati posisi tertingginya di kalangan manusia Pulau Garam. Ia bukan hanya pemanis bibir atau seperti suku Jawa menyebutnya sebagai abang-abang lambe, lebih dari itu nyaba’ oca’ melukiskan penghargaan masyarakat Madura terhadap sebentuk tuturan.

Mencermati budaya nyaba’ oca’ manusia Madura, tidak keliru apabila Ferdinand de Saussure melalui karyanya yang fenomenal yakni Course in General Lingusitics menyamakan bahasa dan pemikiran dengan selembar kertas. Saussure meyakini bahwa nilai gagasan sebuah bangsa layaknya sisi depan kertas sedangkan ucapan seperti sisi belakangnya. Dari sini dipahami bahwa pemikiran seseorang senantiasa  rapat dengan ucapannya sebagaimana kertas yang tidak mungkin dipotong dengan memisahkan bagian depan dan belakangnya.

Nyatanya, tanpa mengenal teori Saussure, sesepuh masyarakat Madura memahami benar bahwa ujaran begitu penting kedudukannya dalam bermasyarakat terutama pada perkara sakral seperti pertunangan. Nyaba’ oca’ menjadi nas bahwa orang Madura telah sedari dulu menanamkan nilai kesungguhan sejak dari dalam pikiran, ucapan hingga perbuatan. Pada akhirnya kata-kata bukan sekadar perkara mengada-ngada semata, ia menemukan konstruksi teratasnya pada sekumpulan masyarakat bernamakan Reng Madure.

*Mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam rangka proses purna studi, saat ini penulis berdomisili di Yogyakarta.

KPU Bangkalan