Di tengah kehidupan dunia yang dirasuki oleh kapitalisme, pragmatisme hingga materialisme, masyarakat Madura—khususnya—seringkali tergoda dengan kehidupan yang serba mewah. Pola berpikir seperti ini semakin tumbuh di tengah himpitan kebutuhan ekonomi yang terus didesak. Ini tidak bisa dipungkiri karena cara seseorang dalam memperoleh kebahagiaan kehidupannya berbeda-beda. Ada banyak tetangga kita hari ini yang lebih memilih merantau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Pada titik ini, kebahagian bagi masyarakat cenderung relatif. Sehingga, banyak dari mereka terkadang tidak bisa memikirkan untuk menyeimbangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Hanya kebahagiaan dunia saja yang dikejar meski kita tidak bisa memungkiri pandangan masyarakat sekitar kita, terutama masyarakat Madura bahwa kesuksesan diukur dari “kebendaan†dan “pangkatâ€. Padahal, kebahagaian tidak hanya sebatas “materiâ€. Maka, kebahagiaan menurut buku ini ketika kita bersama kebaikan dan orang-orang yang baik. (Hal. 52).
Buku ini mengisahkan tentang ketundukan dan ketakziman seorang santri bernama Ridho kepada kiainya. Berkat bimbingan dari kiainya, ia menjadi seorang kiai muda yang mendirikan pesantren dan pengusaha yang sukses ketika pulang ke kampung halamannya. Di sinilah pentingnya kisah ini menjadi satu pelajaran penting bahwa senantiasa menyambungkan batin, bimbingan dan arahan kepada guru (kiai) merupakan kunci kesuksesan dan kebahagian di dunia dan akhirat. Dengan cara ini, kita akan selalu berada dalam kungkungan keberkahan menempuh kehidupan di dunia. Termasuk ketika kita ingin terjun dalam dunia ekonomi dan usaha.
Meskipun tidak menyelesaikan kuliahnya, Ridho yang diperintahkan untuk pulang ke kampungnya menyetujui keputusan kiainya karena dirinya dibutuhkan di kampungnya. Pada akhirnya, banyak sekali tantangan hidup yang dihadapi di kampungnya untuk mempertahankan kesederhanaan, keimanan, dan kejujurannya di tengah desakan ekonomi yang rumit. Petuah yang seringkali tengiang di sanubari Ridho ketika kiainya berpesan,â€Santri-santriku, dalam pengembaraan mengarungi kehidupan ini, jadilah kalian orang-orang yang penuh rindu. Orang-orang yang rindu pulang. Jadilah seperti orang yang mengembara dan sangat rindu untuk segera pulang bertemu keluarga. Orang yang didera rindu untuk segera pulang, tentu berbeda dengan orang yang tidak merasa rindu, tidak akan membuang-buang waktunya di jalan, ia ingin cepat-cepat sampai rumahnya. Sebab, ia ingin segera bertemu dengan orang-orang yang dicintainya. Sebaliknya, orang yang tidak merasa rindu, mungkin ia akan mampir di satu tempat dan berlama-lama di situ, jadinya banyak waktu terbuang dan sia-sia.†(Hal. 61).
Hidup di perkampungan tidak ia sia-siakan untuk mengabdi kepada keluarga, termasuk menjaga adik sepupunya, menjaga masjid sebagai warisan kakeknya hingga melayani kebutuhan masyarakat sekitar. Dalam buku ini, diceritakan dengan penuh menarik ketika Ridho menjaga adik sepupunya, Syifa, agar tidak menjadi penyanyi meski sudah mendapatkan tawaran dan uang yang menggiurkan dari pihak perusahaan dari Jakarta. Sebab bagi Ridho, ia tidak rela adik sepupunya itu suaranya digunakan untuk menyanyi, ia lebih rela jika suaranya digunakan untuk melantunkan kalam ilahi. “Kita memang diuji dalam kondisi serba kurang. Dan kini ujian lebih dahsyat lagi. Ujian ini sebenarnya tidak hanya menguji kamu, tapi juga menguji aku. Aku memilih jualan gorengan asal barokah. Sekali lagi, kata-kataku ini bukan sabda yang harus diikuti. Kau merdeka menentukan pilihan. Hidup ini memang pilihan. Yang jelas aku sudah berusaha menunaikan kewajibanku menjagamu sebagai kakak yang dituakan, (Hal. 199)â€. Begitulah ucapan yang membekas di benak Syifa hingga ia akhirnya dimasukkan ke pesantren oleh Ridho dan menjadi hafidzah. Sebuah cuplikan percakapan yang mendebarkan.
Buku ini mengajarkan kita untuk hidup sederhana dengan keteguhannya yang harus senantiasa disemai dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini tidak hanya menceritakan bagaimana pergolakan di tengah himpitan ekonomi, akan tetapi buku ini juga menjadi inpirasi bagi mahasiswa-santri agar senantiasa membela kebenaran dimanapun berada. Selain itu, sikap kritis juga menjadi modal utama dalam membentengi kehidupan dunia ini yang terus bergerak atau bahkan semakin “berlari†tanpa dikendalikan. Dengan sikap kritis, sebagaimana sikap tokoh Ridho dalam buku ini, kita tidak bisa ditunggangi dengan berbagai “kepentinganâ€.
*Mahasiswa Akhir Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.