Tulisan ini dibuat khusus sebagai kado intelektual HUT Bhayangkara Polri yang ke-73
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Oleh: Kurniadi, SH*
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 01 Juli 2019, Polri telah berusia 73 tahun yang hari jadinya dirayakan secara serentak pada tanggal 10 Juli 2019 yang lalu. Teringat oleh saya bahwa beberapa hari sebelum HUT dirayakan, di sebuah warung kopi saya jumpa dengan beberapa personel polisi yang ikut ngerumpi di warung itu.
Entah mengapa, melihat wajah-wajah polisi ini, apalagi mendengar celotehnya, saya sangat senang dan jatuh cinta pada mereka. Betapa tidak, mereka saling berbagi keluh kesahnya bahwa untuk menyambut HUT Bhayangkara tahun ini, telah dibuat perlombaan bagi mereka untuk membuat karya ilmiyah. Tampak betapa mereka menyatakan rasa senangnya akan perlombaan itu, akan tetapi sekaligus menyatakan gelisahannya;
“Tugasku full, bro. Kapan ngerjakannya ya?,†kata salah seorang polisi yang berkumis klimis. Sebagian yang lain menimpali dengan kompak, “kalau ngelola waktu aja kita tak becus, gimana kita ngaku polisi jago, bro,” sahut teman lain. Lalu disambut canda tawa sebagian yang lain.
Interaksi dan kelekar mereka di warung kopi hari itu mengingatkan saya betapa indahnya polisi-polisi milenial ini yang begitu tampak ramah dan kompak. Serta telah memperlihatkan tanggungjawab yang tinggi untuk memanfaatkan momen perlombaan.
Selain itu, perlombaan membuat karya ilmiyah, sekaligus telah menunjukkan adanya kemajuan bagi institusi ini. Yaitu pucuk pimpinannya ternyata memiliki tanggungjawab untuk membuat pintar personel-personelnya.
Atas dasar itu, saya tertarik untuk mengucapkan selamat bagi mereka yang tentu tidak akan marah kalau saya panggil: “Janchuk” ucapan sayang sekaligus sebagai Kado Intelektual bagi Institusi Bhayangkara ini.
Istilah “Polisi Janchuk” pertama kali diperkenalkan oleh Hermawan Sulistyo pada tahun 2009 yang digunakan sebagai judul sebuah buku. Bagi yang hanya membaca judulnya saja, maka istilah ini akan terkesan sarkasme belaka. Padahal istilah ini, memiliki makna yang sangat dalam, yaitu sebagai tafsir Filosofis-Sosiologis atas visi perubahan Polri pasca memisahkan diri dari ABRI (Sekarang TNI) pada sekitar tahun 2001.
Dengan kata lain, istilah ini sekaligus menginformasikan bahwa Polri sedang berusaha keras mengubah citra dirinya dari semula sebagai institusi angker yang penuh dengan instrumen kekerasan, menjadi institusi Polri yang ramah, yaitu dengan jargon: Mengayomi, Melayani, dan Melindungi.
Sebagai kilas balik sejarah, visi perubahan Polri ini terjadi dalam upaya memenuhi tuntutan rakyat yang disalurkan melalui Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Sebuah gerakan perlawanan rakyat yang paling monumental di sepanjang sejarah Indonesia melawan penguasa dzalim, kejam dan ganas, yaitu Rejim Otoritarian Birokratik Orde Baru: Soeharto.
Meski tetap merupakan Institusi Kakerasan, namun urusan kekerasan tidaklah menonjol pada institusi ini. Sebagaimana dapat dilihat dari persenjataannya dimana anggota Polri tidak dilengkapi dengan pisau/belati dan Bayonet yang dapat membunuh orang dengan cepat. Melainkan hanya sekadar dibekali pentungan. Jadi, perusuh cukup digebuki dengan pentungan. Perusuh tak harus dibunuh. Karena sama-sama sipil.
Istilah “Janchuk” merupakan kata-kata kasar yang biasa dipakai oleh warga masyarakat Jawa Timur yang digunakan kepada temannya yang sudah sangat akrab. Kalau tidak akrab, istilah “Janchuk” tidak dipakai. Jadi, hanya kepada yang akrab saja istilah ini dipakai.
Dengan demikian, mengapa Polri rela dilekati kata-kata kasar ini, karena Polri hendak membuktikan dengan sungguh-sungguh bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat sipil yang patut untuk dianggap sangat akrab dengan masyarakat. Makanya, boleh diledeki: Janchuk. Jadi, kalau ada polisi marah disebut Janchuk, berarti polisi tersebut gagal paham dan tidak mengenali status diri dan institusinya sendiri.
Dengan istilah ini, Polri hendak menegaskan bahwa keberadaannya lahir dan terus menerus akan berevolusi dengan sipil. Polisi tak boleh gila hormat melainkan harus menempatkan diri sejajar dengan warga. Kira-kira itulah maksudnya.
Di bawah visi yang demikian, Polri menghendaki agar institusinya dicintai dan dipercayai oleh rakyat. Rakyat tidak takut kepada Polisi melainkan menjadikannya sebagai tempat mengadu. Tempat rakyat menyandarkan diri dan tempat berlindung. Maka, Polri haruslah malu bilamana ternyata masih terdapat fenomena dimana Rakyat malah mencari perlindungan ke pihak-pihak lain, apalagi minta perlindungan kepada komunitas penjahat;
Maka itu, meski tidak apa-apa disebut Janchuk oleh pecintanya, akan tetapi terhadap penjahat, Polri tetap tegas sesuai dengan tugas dan wewenangnya selaku Penegak hukum. Menjamin setiap warga negara sama di muka hukum. Warga yang diduga salah diproses sesuai hukum, termasuk akan tetapi tidak terbatas tetap diterapkannya instrumen pengurangan hak kemerdekaannya melalui diberlakukannya penangkapan dan penahanan dibalik jeruji besi;
Kendati demikian, langkah penanganan yang demikian merupakan tindakan nomor sekian bagi “Polisi Janchuk”. Karena “Polisi Janchuk” tetap mengutamakan langkah Preventif, yaitu selalu dan senantiasa agar tidak terjadi kejahatan di muka bumi Indonesia yang damai.
Dengan demikian, “Polisi Janchuk” tidak akan mencari gara-gara, apalagi merekayasa kasus bagi rakyat Indonesia.
Jadi, Selamat Berulang Tahun, Kawanku: “Polisi Janchuk”
Cangkarman, 13 Juli 2019
*Penulis,Pendiri YLBH Madura