Opini

Sekolah Anak, Sekolah Orang Tua

×

Sekolah Anak, Sekolah Orang Tua

Sebarkan artikel ini
Sekolah Anak, Sekolah Orang Tua
Taufiqurrahman

Oleh: Taufiqurrahman*

Taufiqurrahman
Taufiqurrahman

Pemerintah  Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melakukan berbagai langkah strategis untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Dalam satu tahun terakhir, Kemdikbud merevisi kurikulum 2013, menata sistem penilaian, meningkatkan mutu guru, melengkapi sarana, serta melaksanakan penguatan pendidikan karakter.

Hingga saat ini, kualitas pendidikan Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan kualitas pendidikan negara tetangga. Pada Desember 2016, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merilis hasil survei yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA). Dari 72 negara yang disurvei, Indonesia berada pada peringkat 64. Thailand berada diurutan 56, Vietnam di posisi 8, sedangkan Singapura berada di urutan pertama (www.oecd.org).

Survei tersebut dilakukan untuk mengukur kompentensi membaca, matematika, dan sains siswa yang berumur 15 tahun. Dalam usia ini, siswa di Indonesia duduk di kelas IX atau X. Hasil survei ini menggambarkan pencapaian siswa pada ketiga kompetensi tersebut dalam satu negara.

Selain rendahnya nilai akademis yang terekam dalam hasil survei PISA, pendidikan Indonesia dihadapkan pada realita moral bangsa yang kian memprihatinkan. Para remaja yang akan membangun negara ini di masa depan banyak terjangkiti penyakit sosial semisal pergaulan bebas dan narkotika.

Pada tahun 2015, Badan Kerjasama Organisasi-organisasi Wanita (BKOW) Gorontalo melakukan survei melibatkan 4.500 responden remaja. Hasil survei tersebut menunjukkan 97% responden pernah menonton film dewasa, 93,7% pernah melakukan ciuman, dan 62,7% pernah melakukan hubungan seksual.

Badan Narkotika Nasional (BNN) melaporkan peningkatan jumlah kasus narkoba dari 19.280 kasus pada tahun 2014 menjadi 36.874 kasus pada tahun 2015. Pengguna narkotika mencapai 5,9 juta orang, 2.186 diantaranya adalah anak di bawah usia 19 tahun.

Rendahnya pencapaian kompetensi akademis siswa serta merosotnya moral remaja menuntut pemerintah bekerja keras membenahi dunia pendidikan. Peningkatan mutu sekolah melalui pemenuhan delapan Standar Nasional Pendidikan terus dilakukan. Gerakan Literasi Sekolah digalakkan. Penguatan Pendidikan Karakter diintensifkan.

Keberhasilan pendidikan tidak melulu ditentukan oleh mutu sekolah, melainkan juga oleh sinergi antarinstitusi pendidikan. Ada tiga pusat pendidikan yang berperan dalam menentukan kesuksesan program pendidikan yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiga pusat pendidikan ini perlu bekerja sama dan saling mendukung. Perbedaan nilai yang berlaku di sekolah, keluarga dan masyarakat menyebabkan  gagalnya pendidikan anak.

Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak. Dalam keluarga, anak belajar banyak hal baik pengetahuan, sikap, norma dan keterampilan sebelum belajar di sekolah. Sebagai unit terkecil dari masyarakat, keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan masyarakat. Keluarga yang baik membentuk masyarakat yang baik. Keluarga yang kurang harmonis melahirkan masyarakat yang bermasalah.

Pentingnya peran keluarga dalam pembentukan karakter anak dikemukakan oleh Thomas C. Philips dalam bukunya Family as The School of Love. Menurutnya, jika sejak dini, anak dalam keluarga ditanamkan karakter terpuji, akan menjadi bekal ketika dewasa untuk berkarakter mulia.

Keluarga menjadi fondasi terbangunnya masyarakat yang beradab dan berpengetahuan. Oleh karena itu, orang tua perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang pola asuh yang benar sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak. Dengan memiliki pengetahuan pola asuh, orang tua akan membantu anak memenuhi tugas perkembangannya. Dengan pengetahuan ini, orang tua dapat melaksanakan perannya dalam mendidik, membimbing, dan menjadi model bagi anak.

Sayangnya, tidak semua orang tua memiliki pengetahuan cara mendidik anak dengan benar. Sebagai orang tua, mereka berkewajiban mendidik anak padahal mereka belum pernah belajar ilmu pendidikan. Orang tua menjadi guru pertama dalam mengajarkan norma, sedangkan mereka tidak memiliki pengetahuan cara mengajarkan norma, bahkan mungkin juga tidak mengetahui norma apa saja yang berlaku di masyarakat. Mereka menjadi orang tua tanpa mendapat bekal pendidikan menjadi orang tua.

Untuk memperoleh pengetahuandan keterampilan pola asuh positif anak (parenting), orang tua dapat mengikuti seminar yang marak diadakan oleh berbagai lembaga. Hanya saja tidak semua orang tua memiliki kesempatan untuk mengikuti seminar ini karena beberapa hal: tempatnya tidak terjangkau, biayanya mahal, tidak punya waktu, dan karena tidak ada keinginan belajar. Akibatnya, lebih banyak orang tua yang tidak pernah mengikuti seminar parenting.

Oleh karena itu, sekolah bukan saja dituntut menyelenggarakan pendidikan bagi anak, tapi jugamemberikan pendidikan parenting kepada orang tua siswa. Tujuannya agar orang tua memiliki kemampuan mengasuh dan mendidik anak dengan benar. Tanpa pengetahuan parenting, tindakan orang tua di rumah bisa saja melunturkan upaya pendidikan yang dilakukan sekolah.

Mengingat pentingnya pendidikan parenting, sekolah bisa menjadikan program ini sebagai kegiatan rutin yang wajib diikuti semua orang tua siswa. Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan atau setidaknya dua kali dalam satu semester yaitu di pertengahan dan akhir semester bersamaan dengan kegiatan laporan perkembangan siswa dari guru ke orang tua.

Dengan mengikuti pendidikan parenting di sekolah, setiap orang tua mengetahui peran dan tugasnya dalam menciptakan lingkungan rumah yang ramah belajar. Rumah yang penuh dengan cinta dengan kehangatan hubungan seluruh anggota keluarga. Orang tua mengetahui bagaimana cara mendidik dan memperlakukan anak dengan benar sehingga setiap tindakannya tidak mematikan potensi kreativitas anak, melainkan mendukung tumbuh kembang anak dalam segala ranahnya.

*Guru SDN Kapedi II dan Pegiat Rumah Literasi Sumenep.

KPU Bangkalan