Oleh: Ahmad Muhammad*
matamaduranews.com-Sejak perkenalan pertama dengan al-Mursi, Ibn Atha’illah kemudian memutuskan mengabdi (mulazamah) kepada sang maestro. Sosok al-Mursi berpengaruh besar terhadap diri Ibn Atha’illah.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Al-Mursilah yang membimbing dan mengarahkan Ibn Atha’illah menjadi seorang pecinta Allah. Sang guru juga sempat beberapa kali meramal -melalui penglihatan mistisnya- bahwa Ibn Atha’illah kelak dikemudian hari akan menjadi ulama besar.
“Demi Allah, Dia (Allah Swt, Red.) akan memberimu karunia yang besar. Demi Allah, engkau akan berbicara (menguasai) dua ilmu; ilmu dhahir dan ilmu batin, ilmu syariah dan ilmu hakekatâ€. Dawuh al-Mursi tersebut di kemudian hari menjadi kenyataan. Ibn Atha’illah menjadi penghulu dua ilmu dan menjadi seorang ulama besar. Dedikasinya kepada syeikh berlangsung selama 12 tahun, hingga sang guru wafat pada 686 H/1288 M.
Ibn Atha’illah berkontribusi menulis sirah dan ajaran kedua gurunya (al-Mursi dan al-Syadzili) ke dalam kitab bernama Lathaif al-Minan. Lebih jauh, Ibn Atha’illah diangkat sebagai mursyid tarekat Syadziliah ke-3, dan di tangannya pula ajaran-ajaran dalam tarekat tersebut dikodifikasi dan disebarkan secara luas di dunia Islam.
Sementara pemikiran Ibn Atha’illah sendiri dituangkan dalam kitab Al-Hikam. Kitab yang ia tulis semasa ngangsuh kaweruh kepada al-Mursi. Meskipun ditulis di masa muda, namun Ibn Atha’illah berkata bahwa kitab Al-Hikam telah mencakup seluruh ajaran dan pemikirannya dalam hal tasawuf.
Kitab al-Hikam, terdiri dari 264 aforisme sufistik (ungkapan hikmah spiritual) mencakup persoalan akidah, syariah dan akhlak, dan diuraikan dalam bentuk nasihat, risalah untuk menjawab pertanyaan muridnya, serta doa dan munajat Ibn Atha’illah kepada Allah.
Inti dari ajaran Ibn Atha’illah tentang tasawuf bermuara kepada 5 hal pokok: bertakwa kepada Allah di saat sepi atau ramai, mengikuti sunnah Nabi Saw dalam perkataan dan perbuatan, berpaling dari meminta-minta kepada makhluk, ridho terhadap ketentuan Allah dalam hal kecil dan besar, serta selalu kembali kepada Allah ketika senang dan susah.
Lebih singkat lagi, inti dari pemikiran Ibn Atha’illah terangkum dalam konsepsi “Isqhat al-tadbir wa al-Ikhtiyar†(menegasikan segala daya dan usaha). Dari sinilah dibangun semua ajaran Ibnu Athaillah dalam tasawuf. Maksud dari konsep Konsep isqat tadbir (unplumbed by the discursive intellect) ini seperti menegasikan adanya peran manusia dalam pencapaian hasil perbuatan.
Pandangan ini, jika melihat sepintas seperti dilakukan orientalis Brockelman, seakan mengumumkan bahwa Ibn Atha’illah adalah penganut Jabariyah. Suatu paham yang menyatakan bahwa seluruh perbuatan manusia merupakan perbuatan Tuhan tanpa adanya peran aktif manusia di dalamnya. Namun bila ditelisik lebih dalam, pandangan Ibn Atha’illah tersebut dapat dipahami bahwa ia sedang mempresentasikan hubungan antara kekuasaan Allah yang hakiki dan absolut dengan kemampuan manusia yang nisbi dan terbatas. Manusia, sebesar apapun kekuasaannya, tetap bersifat terbatas jika dibandingkan dengan kekuasaan Allah.
*Magister Tasawuf UIN Sunan Ampel, Surabaya
Bersambung…