Sosok Mbah Benu Yang Ngaku “Nelpon” Allah
matamaduranews.com-Beberapa hari terakhir viral sosok Mbah Benu dari Gunung Kidul, yang mengaku sudah nelpon Allah. Kali ini telpon minta petunjuk kapan awal dan akhir bulan puasa.
Jawaban yang diterima, menurut dia, menuntunnya ambil keputusan kontroversial untuk berlebaran lebih cepat 4-5 hari dibanding umumnya umat Islam. Maka mendadak heboh.
Berbekal sepotong informasi itu, banyak warganet mencaci, nyinyir, menghujat, sampai menuduhnya sesat dan menyesatkan -meski ada juga yang coba memahami dan berhati-hati menilai. Untung Mbah Benu nggak main medsos 🙂 Kalau tahu dihujat ramai begini, takutnya step atau jantungan.
Izinkan saya menceritakan sekilas jejak petualangannya. Sekedar memberi perspektif lain saja. Siapa tahu bisa menjawab banyaknya komentar-komentar yang mempertanyakan seputar sosoknya, kok bisa sehalu itu, kok ya ada yang percaya, bahkan santrinya konon sampai ribuan tersebar di segenap daerah terutama di Jawa.
Mbah Benu mulai ‘babat alas’ di Panggang Gunung Kidul sejak 1971, mendampingi istrinya, Bu Rien, yang bertugas jadi bidan desa di daerah pelosok. Daerah ini belum segemerlap sekarang. Kala itu jalan belum diaspal, listrik belum masuk, krisis air, kontur tanahnya bukan lagi tanah berbatu tapi batu bertanah. Adoh ratu cedhak watu.
Siang hari Pak Benu, begitu dulu dipanggilnya, kerja serabutan di sela antar jemput istri. Kadang mancing, makelaran, jual bubur kacang ijo, usaha angkutan, belakangan jadi guru agama di sekolah menengah jaringan Taman Siswa.
Untung ada modal jadi guru agama, yakni sejak kecil sampai remaja belajar agama dari ayahnya, santri dari Purworejo yang aktif berjuang mengusung panji Laskar Hizbullah.
Pak Benu kecil ngaji sambil ikut hidup berpindah-pindah sampai daerah-daerah pantai utara Jawa. Ini sekaligus jadi catatan sanad keilmuannya yang paling jelas, ngaji langsung ke ayahnya, Eyang Shaleh Dipoatmodjo.
Kegiatan malam Pak Benu lah yang menurut saya heroik. Dengan kondisi Gunung Kidul seperti itu, tiap malam dia blusukan mendatangi masjid-masjid kampung di pelosok-pelosok. Gubar, Klampok, Sumur, Petoyan, Banyumeneng, Gedad, Getas, Turunan, Temu Ireng, Warak, Krambil Sawit, Ngobaran, Gubukan, Paliyan, Playen, Pulutan, Plembutan, Nglipar, Wonosari, Tepus, juga turun gunung ke Ireng-Ireng, Imogiri, Srandakan, Jogja, dan lain-lain.
Awalnya pinjam motor dinas bu nyai, motor Suzuki era Honda 70-an, sebelum ada rezeki bisa beli Honda GL100. Dia nekat menembus kelam malam, hutan wingit, kuburan angker, melintasi tikungan-tikungan dengan jebakan jurang curam, kadang ditemani hujan berkabut. Berangkat habis Isya, balik sampai rumah lewat tengah malam.
Masih lekat dalam memori orang-orang tua sekarang, di era 80-90an kalau tengah malam ada suara montor lanang Honda, itu Pak Benu pulang ngaji.
Dia sering ajak anak atau santrinya gantian dibonceng untuk ‘kanca greneng-greneng’ alias teman ngobrol di jalan. Teman boncengan ini penting. Sebab kalau jalan sendiri, malesnya kadang ada yang iseng mbonceng, bukan orang tapi peri, tuyul, kuntilanak, atau pocongan.
Apa yang dilakukannya dalam safari itu tak lain tak bukan ialah membacakan Al-Quran dan tafsirnya, kadang tahlilan saat ada kematian, atau bersama-sama berdoa jika ada yang tengah tertimpa musibah.
Untuk itu berapa bayarannya? full free alias Lillahi Ta’ala. Tapi murid-muridnya biasa ngaturi dua bungkus kretek Gudang Garam Merah, kemudian beralih Djarum Super. Kadang juga dibungkuskan penganan atau nasi berkat, nasi gurih dengan kerupuk merah putih. Alhamdulillah, ada modal ketok-ketok biar dibukakan pintu oleh istrinya.
Seiring menguatnya ekonomi umat, murid-muridnya juga kadang nyangoni buat beli bensin. Mungkin sungkan juga, ibarat kok malah sumur yang mendatangi timba. Sekitar dua puluh tahunan kemudian baru ada beberapa muridnya antar jemput kegiatan syiarnya dengan mobil bak terbuka. Baru tahun 2000-an punya mobil sendiri, Suzuki Futura.
Kegiatan seperti itu tidak dijalaninya sehari dua hari, tapi berbilang purnama, bertahun-tahun, sampai 30-40 tahunan. Mungkin terdengar glorifikasi ya, tapi itu saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Pak Benu tidak memiliki catatan ilmu sekaya para alim ulama dari pondok pesantren atau sekolah-sekolah agama NU atau Muhammadiyah. Catatan ilmunya relatif tidak eksklusif, bisa dibaca di di berbagai kitab kuning.
Namun catatan ilmu yang digenggamnya itu diamalkan secara konsisten istiqamah. Semisal diundang kalau ada orang sakit atau kena santet, seringnya baca doa-doa anggitan Syaikh Abu Hasan Asyadzili atau Syaikh Hasyim Asyaqafi.
Kalau yang rutin dibaca bareng-bareng tiap bulan adalah kitab manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani.
Untuk kajian tafsir Al-Quran, dia mengaku kalau kadang kayak dituntun saja lisannya. Sebelumnya kan tak pernah intensif belajar Bahasa Arab atau ilmu tafsir.
Adapun Maulid Barzanji seperti di pondok-pondok itu tidak diamalkan. Pak Benu merasa belum pantas kalau mengamalkannya terus dirawuhi kanjeng nabi. Dia masih merasa begitu sampai setua ini. Tapi Shalawat Muhamadurrasulullah yang 18 bait itu selalu dibacanya setiap mengawali majelis.
Kalau saya coba syarah sekarang, komunitasnya Mbah Benu lebih tepatnya merupakan majelis dzikir, yang semangatnya terus menempa ketauhidan. Ajaran akidahnya merujuk Asyariyah cenderung Jabariah, kepasrahan total. Butir-butir hikmahnya banyak merujuk Al-Hikam.
Begitu lah laku hidupnya, dijalani bertahun-tahun, terbilang puluhan tahun. Dengan begitu, aneh kah jika banyak yang mengikuti dan mencintainya?
Soal aksi kontroversial, bukan kali ini saja. Sudah sering sejak dulu, hanya karena belum ada medsos saja jadi tak tersiar beritanya.
Contoh, sebelum membangun rumahnya sendiri, Pak Benu ajak warga membangun masjid secara swadaya. Dia mengharamkan minta-minta bantuan dana untuk membangun masjid, baik pakai jaring ikan atau proposal. “Nggak malu tah, yang punya rumah ini Maha Kaya,” katanya.
Tapi dalam hening sepi dia berdoa mbrebes mili ke Yang Maha Kaya, minta dikirimi pasir, semen, batu bata, genteng ;). Di depan makam Syaikh Jumadil Kubro dia juga berikrar, kalau masjid tak terbangun dalam 2 tahun, makam syaikh akan dibongkar, ya salaam. Begitu masjid terbangun pas setelah dua tahun, dia nanggap wayang kulit, atraksi pencak silat, juga ndangdutan!
Disematkanalah nama Masjid Aolia, dengan harapan jadi tempat singgah para wali. Ada hiasan bentuk kuburan lengkap dengan nisan di depan masjid. Isinya kosong, itu diniatkan sebagai pesan agar orang ingat mati. Ada juga pahatan bertuliskan ‘hadza min fadli rabbi’. Artinya kira-kira, semuanya ini karunia Allah.
Memang ada juga aksi-aksinya yang agak nyerempet. Dia sering ajak anak santrinya tirakat di tempat-tempat keramat atau angker; di puncak anakan Gunung Merapi, pantai selatan, pantai utara, atau lokasi yang diwingitkan. Duduk bersila pejam mata sambil ndremimil, ‘Ya Allah, Ya Allah, Lailaha ilallah Muhammadurrasululalh…’ berjam-jam.
Dia juga berusaha membuktikan sekaligus mencari akses komunikasi ke sosok-sosok gaib yang hidup dalam mitologi masyarakat Jawa, seperti Ratu Kidul, Semar, dan sebagainya.
Masih banyak aksi akrobatiknya yang bikin heboh. Aslinya, semua bermula dari obsesinya agar dilirik oleh Gusti Pengeran Rabb-nya. Caper saja. Sesuai prinsip akidah yang diyakini, baginya Allah itu memang Maha Kuasa, berkuasa mutlak atas segalanya. Manusia sebagai kawula atau hamba, harus terus mendekat dan mencarinya setotal mungkin, senekat mungkin.
Relasi yang begitu emosional seperti itu yang mungkin memicu terucapnya ‘telpon Allah Subhanawata’ala..’:) Salam saya untuk admin NU Garis Lucu yang coba menerjemahkan, bahkan membocorkan hotline Allah: 24434.
Membaca jejak perjuangan sosok yang sedang dihujat ramai-ramai ini, rasanya pengabdian dan capaian saya yang baru bisa jadi kuli dan pedagang kecil-kecilan ini belum sekuku irengnya.
Namun penting saya tekankan di sini. Segenap laku Mbah Benu itu tidak lantas membuatnya jadi nabi. Tetap manusia biasa. Sepanjang hidupnya hingga kini, pasti ada salah lisan juga perbuatan, baik dalam konteks hablum minallah dan hablum minannas, dengan Sang Khaliq dan dengan sesama makhluk.
Mbah Benu juga terus menua, sudah sepuh. Pemilik nama lengkap Ibnu Hadjar Sholeh itu kini sudah 83 tahun. Dulu kuat keliling masjid mulang ngaji tiap malam, sekarang ke masjid dekat rumah saja jalannya terseok-seok, sampai banyak santri nawari menggendongnya.
Fisiknya sudah melemah. Penglihatan lahirnya melamur, pendengaran berkurang, tubuhnya kurus ringkih ;( . Ada salah-salah omong dan tindakannya pun niscaya.
Untuk itu tiap hari saya mohonkan ampunan. Dengan segala kerendahan hati saya juga mengetuk pintu maaf juga ke semua yang kenal atau tidak kenal langsung atas kesalahan-kesalahannya.
Jika berkenan, mohon doanya juga, agar terus mendapat kekuatan meniti jalan pedang misi dakwahnya, agar diluruskan jika ada jalan menyimpangnya. Jika berkenan saja, sebab mendoakan kok rasanya lebih baik dibanding mencela, saya akan sangat berterima kasih.
Jika niat mau mengingatkan atau menasihati, didatangi saja ke rumahnya. Mbah Benu masih sempat menerima tamu, di sela shalat dan nderes Quran yang ditarget berat untuk dirinya sendiri, khatam tiap hari.
Soal ibadahnya terkait bulan puasa dan lebaran termasuk penentuannya, coba nanti saya tuliskan tersendiri ya. Maaf juga kalau cerita ini bias dan berlebihan, ya maklum. Sembah nuwun.
Wassalam.
sumber: https://www.facebook.com/596454043/posts/