MataMaduraNews.com-SUMENEP-Gonjang-ganjing dugaan titipan dan bookingan rekrutmen Panitia Pengawas Pemilu tingkat kecamatan (Panwascam) di Sumenep, Madura, Jawa Timur, akhirnya direspon oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Sidang perdana sejak viral di media online ini digelar DKPP, bertempat di Kantor Bawaslu Provinsi Jawa Timur, Jl Tanggulangin, Surabaya, Rabu, 17 Januari 2018. Agenda sidang mendengarkan pokok pengaduan dari pengadu dan jawaban dari teradu itu, berlangsung haru dan tegang. Sebab, pengadu dan teradu saling mempertahankan dengan bukti-bukti yang dimiliki. Akibatnya, sidang berlangsung lama.
Sidang dimulai pukul 10.00 WIB hingga 12.30 WIB. Majelis hakim dalam persidangan itu berjumlah empat orang. Ketua Majelis Hakim, Dr Alfitra Salamm (DKPP). Anggota majelis, Eko Sasmito, (KPU Jatim), Nunuk Nus Wadani, perwakilan dari tokoh masyarakat, dan Moh. Amin dari Bawaslu Provinsi Jawa Timur.
M. Adnan dan Ach. Farid Azziyadi sebagai pengadu didampingi oleh kuasa hukum Azam Khan & Partners. Menurut Ainur Rahman, kontributor MataMaduraNews.com yang ikut menyaksikan langsung melaporkan, Majelis Hakim Alfitra minta penjelasan kepada pengadu. Azam menyampaikan sejumlah kejanggalan dalam rekrutmen itu. Salah satunya adalah peserta yang akan lolos sebagai anggota Panwascam beredar di sejumlah media jauh sebelum pengumuman resmi dari Panwaskab.

“Yang kedua ada kejanggalan bahwa setiap peserta test wawancara diwajibkan mengisi surat pernyataan di atas materai yang salah satu isinya tidak akan menuntut Panwas. Ini penyalahgunaan yang tidak bisa ditolerir, majelis hakim,” sebut Azam.
“Ini tambahan lagi. Dalam berita acara itu, disebut Panwas minta masukan dari stakeholder untuk meloloskan anggota Panwas. Ini rusak negara kalau komisioner tidak independen,” tambah Azam.
Usai mendengar keterangan pengadu, giliran teradu dari tiga Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sumenep, Hosnan Hermawan, Imam Syafi’i dan Wahyu Pribadi, menyampaikan penjelasan.
Juru bicara teradu, Imam Syafii menyebut nama-nama inisial yang beredar di sejumlah media itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, kata Imam, berita itu muncul di media yang tidak jelas kantornya. Tidak jelas siapa wartawannya. “Dan beritanya monoton dari satu nara sumber dan tanpa konfirmasi ke kami,” sebut Imam.
Dari pernyataan Imam Syafii ini seperti menyulut emosi saksi. Saat ketua majelis hakim memberi kesempatan kepada Hambali Rasidi untuk menjelaskan, Ketua IKA UINSA Korda Sumenep ini langsung membeber fakta-fakta yang ada di lapangan.
“Kalau boleh saya beber fakta yang ada di lapangan, saya merasa miris Bapak Majelis Hakim. Bagaimana tidak, jauh sebelum pendaftaran rekrutmen dibuka, sebagian publik di Sumenep sudah ngerti siapa saja yang akan lolos. Bahkan ada, teman yang menyebut, pendaftaran Panwascam hanya formalitas,” jelas Hambali.
Kesaksian Hambali menarik anggota majelis hakim yang lain. Eko Sasmito bertanya soal dasar saksi yang berani memunculkan nama-nama inisial yang lolos. “Apa dasar anda menyebut nama-nama yang akan lolos itu?,” tanya Eko.

“Sebagai Ketua IKA UINSA saya banyak menerima pengaduan. Nama-nama itu berasal dari pengaduan. Lalu saya verifikasi ke lapangan dan mencari benang merah adanya indikasi bookingan. Karena saya yakin benar, saya berani munculkan ke media. Testimoni dan kesesuaian rangkaian kronologi booking ini, bagian dari sebuah fakta,” jelas saksi Hambali.
Seperti penasaran atas penjelasan saksi Hambali, Ketua Majelis Hakim Alfitra Salamm kembali bertanya maksud saksi tak punya saham kepada tiga komisioner.
“Apa maksud saksi tak punya saham,” tanya Alfitra. “Saya sebagai orang Madura, ngerti adat. Ngerti etika. Sebab, saat rektrutmen anggota Panwas Kabupaten Sumenep, saya tak punya andil sama sekali untuk membantu tiga komisioner ini agar lolos. Jadi saya tahu diri dan minta maaf kepada anggota IKA UINSA yang minta carikan jalan agar terpilih sebagai anggota Panwascam,” terang Hambali.
Lalu Hambali melanjutkan cerita bookingan. Suasana hening. Intonasi suara saksi makina tinggi. Sehingga, sorot mata majelis hakim dan yang hadir tertuju ke saksi Hambali.
“Sebenarnya saya malas ngurus rekrutmen Panwascam, karena tak punya saham. Tapi, saya terus didesak oleh anggota IKA UINSA. Saya coba cari jalan. Ada teman yang ngajak menemui salah satu anggota DPR RI di Rumah Makan HK di Sumenep. Jauh sebelum pendaftaran dibuka. Saya disarankan ke Syukri. Tapi katanya sudah terlambat. Sudah ada yang ngisi. Lalu saya cek ke yang lain, juga sama. Intinya majelis hakim, saya bicara ini di atas sumpah bahwa rekrutmen Panwascam ini vulgar. Sarat titipan. Buktinya, minat pendaftar sedikit karena banyak yang ngerti siapa yang akan lolos. Dan juga terbukti ada kecamatan yang diperpanjang waktu pendaftaranya karena kurang dari batas minimum,” cerita Hambali dengan mimik serius.
Suasana sempat reda karena teradu tidak menanggapi pernyataan saksi Hambali. Dan majelis hakim kembali memberi kesempatan kepada kuasa pengadu. Dengan intonasi meninggi, secara tegas Azam Khan minta keadilan ditegakkan setelah melihat bukti-bukti dan mendengar keterangan saksi.
“Keterangan saksi merupakan rangkaian sebuah peristiwa. Sedangkan penyataan di atas materai dan berita acara itu, merupakan bukti nyata. Karena itu, saya berharap majelis hakim bisa menegakkan keadilan. Sebab, acuan kelolosan itu tidak jelas,” sebut pengacara kondang Jakarta itu.
Akhir sidang, Ketua Majelis Hakim Alfitra Salamm mengatakan, “Kami pasti mendengar dari sejumlah keterangan di persidangan ini. Dan akan mengkaitkan dengan fakta-fakta yang ada di persidangan. Kami semua catat dan menjadi bahan pertimbangan untuk pleno. Anggota kami ada tujuh orang. Dari pleno itu akan memberikan pendapat dan akan bertindak seadil-adilnya. Jika hasil pleno masih belum dianggap belum memberi keadilan, kami tetap membuka pengaduan,” jelas Alfitra.
Sebelum menutup, Alfitra meminta kepada teradu agar menyerahkan hasil rangking nilai peserta dan juknis rekrutmen Panwascam agar dserahkan ke DKPP.
Sementara hasil pleno DKPP belum ditentukan waktunya.
Kontributor: Ainur Rahman | Editor: Rafiqi, Mata Madura