Opini

Di Ambang Perang; Catatan Menjelang Pilkades Serentak Kedua di Bangkalan

×

Di Ambang Perang; Catatan Menjelang Pilkades Serentak Kedua di Bangkalan

Sebarkan artikel ini
Di Ambang Perang; Catatan Menjelang Pilkades Serentak Kedua di Bangkalan
Eko Dian Wahyudi

 

Eko Dian Wahyudi
Eko Dian Wahyudi

Oleh: Eko Dian Wahyudi*

GENDERANG perang mulai berbunyi. Itu adalah sebuah tanda bahwa setiap pasukan dan jenderal yang gagah harus siap bertarung di arena. Namun, kali ini para prajurit dan jenderal tidak berperang dengan mengangkat pedang ataupun berlindung di balik perisai. Tapi mereka akan berperang untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Ya, tepatnya di tanggal 27 Oktober besok, para punggawa-punggawa terpilih dari setiap desa akan maju dalam kontestasi pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak tahap kedua di Kabupaten Bangkalan. Tentu perang kali ini tak akan sama dengan dengan Perang Troya dalam epic paling berpengaruh sepanjang masa The “Iliad of Homer”. Setidaknya_semua berharap_ tak ada korban berguguran, tak ada darah yang mengalir dari tubuh setiap pasukan ketika tergores tajamnya pedang seperti yang tertulis dalam epic Yunani kuno itu.

Kini yang ada hanyalah senyuman manis yang terlontar dari sudut desa ke sudut lain. Janji-janji manis yang keluar dari setiap calon pemimpin-pemimpin desa yang_katanya_ terhormat itu. Mungkin memang tak ada lagi darah dan kekerasan, tetapi yang ada hanyalah kebusukan, kebohongan, rayuan manis seperti halnya seorang pria yang ingin menyatakan cinta pada gadisnya. Namun setelah cinta itu diterima, maka yang tersisa adalah penghianatan, perselingkuhan dan rasa sakit hati yang begitu mendalam.

Akankah para calon pemimpin di desa yang akan manjadi tempat berkeluh-kesah warganya akan sama dengan para pejabat di negeri ini? Tentu kita berharap tidak bukan? Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai pemilih? Tentu kita tidak mau seperti halnya gadis lugu yang menerima gombalan pria berhidung belang yang hanya menginginkan nafsunya terpenuhi. Kita adalah pemilih yang cerdas, kita adalah kaum intelektual yang dianggap setara dengan suara Tuhan. Karena setiap dari kita dapat meruntuhkan sebuah tembok yang besar, benteng yang kokoh dengan gelombang gerakan yang besar, lautan manusia yang memenuhi ruas-ruas jalan. Karena kita akan menjadi saksi bisu setiap gerakan yang kita lakukan.

Maka dari itu, lihat dan tentukanlah siapa orang yang berhak berdiri di garis depan? Siapa calon yang kita anggap sebagai pemimpin yang amanah_jika pemimpin yang amanah itu benar-benar ada. Sebab dalam politik kekuasaan, politik tak punya kepala, politik tak punya telinga dan politik juga tidak punya hati. Karena dalam politik yang ada hanya kalah dan menang, kawan dan lawan.

Meskipun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita butuh politik, akan tetapi politik tidak boleh merampas kebebasan iman dan akal. Sebab jika iman dan akal sudah tunduk pada kekuasaan, maka yang ada hanyalah kemunafikan. Dan kita hanya tinggal menunnggu wajah kemunfikan itu tersenyum manis melambaikan tangan pada setiap orang di hari kemudian.

Semoga saja politik di desa kini tak menjadi lahan basah yang mengarah kepada kemunafikan. Karena jika di ruang lingkup desa saja sudah belajar menjadi seorang pemimpin yang tak amanah, apa jadinya jika kelak menjadi pemimpin bangsa. Karena dari desalah pula kita belajar membangun sebuah peradaban yang besar. Cermin politik bagi kepemimpinan di Bangkalan.

Seperti dalam sebuah sejarah kuno yang terjadi di Miletos, sebuah kota kecil yang menjadi kiblat dan lahirnya seorang pemikir seperti Thalles yang meletakkan dasar dari filsafat. Miletos terkenal sebagai embrio dari peradaban barat karena menjadikan kota kecil tersebut sebagai centra diskusi berbagai pengetahuan dari berbagai peradaban lain.

Mungkin masyarakat desa masih terlalu naïf jika ingin menjadikan desa-desa kecil di Bangkalan sebagai desa yang penuh dengan tradisi diskusi ilmiah dan merubah pola pandang primitif ke arah pola pikir yang agak terbuka. Tapi yang jelas, momen politik desa esok hari dapat menjadi evaluasi bagi setiap raja kecil yang menahkodai desa untuk melakukan perubahan secara perlahan ke arah yang lebih baik, bukan malah menimbulkan konflik sosial baru yang memecah antara para pendukung.

Selamat berdemokasi Bangkalan. Sukses Pilkades adalah cermin politik masa depan.

*Penulis aktif di Kopi Gratis (Komunitas Pemikir Generasi Kritis), Bangkalan, Madura, Jawa Timur.

KPU Bangkalan