BudayaOpini

Berterima Kasih Pada Zainalfattah

×

Berterima Kasih Pada Zainalfattah

Sebarkan artikel ini
Berterima Kasih Pada Zainalfattah
Kangjeng Raden Tumenggung Ario Zainalfattah Notoadikusumo, Sejarahwan Madura

SAYA baru tahu Zainalfattah, tepatnya mengenal nama tersebut, saat kelas VI SD. Ketika itu saya mendapat pinjaman dua buah buku dari teman sekelas, milik ayahnya. Buku Babad Sumenep edisi alih bahasa Indonesia, dan sebuah buku sejarah tentang Madura. Zainalfattah itu penulis buku. Namanya tertera di daftar pustaka salah satu buku yang saya pinjam tersebut.

Kedua buku itu memang mencatumkan literatur. Padahal salah satunya babad. Meski belakangan ketika saya kenal dengan buku babad sama yang memakai bahasa Madura huruf latin, sama sekali tak ada daftar pustakanya. Naskah awal buku Babad Sumenep itu bahkan berhuruf carakan. Ditulis pada 1914, oleh Raden Werdisastra. Kemungkinan tak pakai juga rujukan pustaka. Kebetulan saya belum pernah melihatnya. Akhirnya saya paham, pencantuman daftar pustaka di edisi alih bahasa babad itu karena penerjemah memberi catatan di luar naskah asli.

Sedikit kisah, saya hobby belajar sejarah. Semua yang berbau sejarah, baik sejarah sebagai seni maupun sebagai ilmu. Bacaan saya banyak yang berkisar sejarah. Soal genealogi, asal-usul tokoh, baik pemerintahan atau non pemerintahan, pra Islam sampai masuknya Islam. Termasuk juga cerita rakyat (folklore) saya lahap. Karena saya orang Madura, tentu sejarah Madura masuk dalam bidikan utama hobby saya itu. Tapi saya hanya peminat saja. Sekadar suka. Kesannya tanggung, tidak serius. Buktinya, saya juga tidak mengambil jurusan ilmu sejarah saat kuliah dulu. Mungkin jika saya kuliah di jurusan itu, saya sudah menjadi sejarahwan. Paling tidak dosen atau guru sejarah, atau peneliti sejarah, dan sekaligus penulis beberapa buku tentang sejarah. Atau paling sedikitnya menjadi pemateri di beberapa diskusi soal sejarah, dan paling sedikitnya lagi menjadi pemerhati yang lidahnya sering “dipinjam” para penulis berita, artikel, dan atau jurnal tentang sejarah. Ini menurut pikiran saya belaka. Hanya dalam angan dan angin lalu saja.

Kembali pada Zainalfattah. Awalnya saya ingin memberi judul tulisan ini “Membela Zainalfattah”. Kenapa harus dibela? Ya, karena beliau bukan Tuhan. Tapi mahluk. Yang namanya mahluk pasti lemah. Jadi perlu dibela, mengutip Gus Abdurrahman Addakhil alias Gus Dur. Meski beliau sebenarnya tidak pernah meminta dibela. Terutama pada saya pribadi. Tapi sebagai generasi yang suka sejarah dan membaca beberapa karya beliau, saya perlu setidaknya berterima kasih. Atas beberapa karyanya yang oleh beberapa kalangan dianggap karya kurang bermutu, rang-ngarang, karena tanpa dilengkapi daftar pustaka seperti buku-buku jaman now; yang kata orang sekarang disebut ilmiah sebab memasang daftar pustaka saja hingga berhalaman-halaman.

Tapi saya lantas mengurungkan niat untuk “membela” itu. Terkesan heroik, dan agak berlebihan. Cukup berterima kasih saja. Sederhana, tapi justru yang memang malah sering diabaikan sebagian orang.

BAC JUGA: Biografi R. P. A. Sukur Notoasmoro; Praktisi Legendaris Bahasa Madura

Eh, rupanya saya terlalu banyak ngoceh. Hingga hampir lupa menjelaskan siapa Zainalfattah. Saya hanya punya sekelumit informasi soal beliau. Info yang terserak, karena bukan satu sumber. Bisa jadi masih belum utuh. Tapi saya coba susun semaksimal mungkin.

Zainalfattah lahir dan berasal dari Pamekasan. Putra pertama dari 4 bersaudara, dari pasangan Raden Ario Pratamingkusumo (Moh. Ishaq) dan Raden Ayu Rakiba. Dari situ sudah bisa dipahami bahwa beliau berasal dari kalangan bangsawan elit. Pratamingkusumo, ayah beliau, merupakan cucu Panembahan Mangkuadiningrat, penguasa Pamekasan yang wafat di bulan Maret 1842.

Tak ada catatan di Madura tentang masa kecil dan riwayat pendidikan Zainalfattah. Beberapa sesepuh di Sumenep, misalnya, hanya mengenal beliau sebagai sosok yang cerdas dan berpengetahuan luas. Meliputi bidang agama, politik, budaya, dan tentunya sejarah itu sendiri. Termasuk penguasaannya di bidang bahasa, seperti Arab, Inggris, dan Belanda. Ada juga embel-embel yang sifatnya mistis. Konon, Zainalfattah juga disebut sebagai sosok waskita dan linuih.

Sebagai bangsawan, Zainalfattah memang memungkinkan untuk berproses dalam keilmuan. Hal itu juga yang lantas mengantarkan beliau ke kursi bupati Pamekasan di era kedaulatan RI. Masyarakat Madura menyebut beliau Kangjeng Zainal. Nama lengkapnya ialah Kangjeng Raden Tumenggung Ario Zainalfattah Notoadikusumo. Beliau juga berperan saat Madura berubah status sebagai Negara. Kiranya sampai di sini sejenak gambaran tentang sosok Zainalfattah.

Meski berasal dari strata sosial atas, baik secara nasab dan kedudukan, Zainalfattah merupakan satu di antara sedikit kaum bangsawan kala itu yang sempat-sempatnya berkarya. Di tengah dimanjanya kalangan bangsawan Madura dengan tunjangan bulanan pasca pencabutan hak atas tanah miliknya, hampir mayoritas dari golongan ini dilemahkan secara intelektual. Meski berhak sekolah seperti anak-anak kolonial, namun lulusan bangsawan yang jadi pegawai pemerintahan, otomatis tunjangan kebangsawanannya dicabut, diganti gaji kantoran yang nominalnya jauh lebih kecil. Akhirnya banyak anak-anak bangsawan yang memilih tidak sekolah. Dan menjadi korban politik pembodohan bangsa kolonial.

BACA JUGA: Beginilah Kehidupan Arach Djamaly; Perintis Sastra Madura

Kesibukannya sebagai bupati rupanya juga tidak membuat Zainalfattah larut dalam kondisi politik RI yang tak menentu dan masih belum stabil. Salah satu karyanya yang cukup fenomenal ialah buku tentang Madura setebal 243 halaman. Ditulis pada 1952. Buku itu diberinya judul “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja”. Sekaligus buku ini pula yang kini (setelah dibaca tentunya), dikritik hingga dicerca oleh sebagian kalangan. Dianggap distorsi, membingungkan, sarat dengan kesalahan dan tak layak disebut sebagai karya tentang sejarah.

Seorang kenalan bercerita pada saya. Suatu ketika ia didapuk sebagai pemateri diskusi sejarah. Saat mengutip Zainalfattah, ada peserta diskusi yang menyanggahnya. Peserta itu mempertanyakan orang yang mengutip karya Zainalfattah. Alasan peserta itu, buku Zainalfattah tak lebih dari sekadar kisah tutur, bukan sejarah, dan secara ilmiah tertolak!

Terus terang, saat mendengar cerita itu saya hanya bisa mengurut dada sendiri. Zainalfattah jelas tak bisa membela karyanya. Jasad beliau sudah lama bersemayam di Botoputih, Surabaya, yang berdasar keterangan di pasarean, beliau wafat 25 Januari 1961 silam.

Karya Zainalfattah memang tidak sempurna. Begitu juga karya-karya lainnya. Bahkan di ranah literasi Islam klasik, karya-karya ulama terdahulu juga begitu. Karya-karya dahulu juga hampir tidak pernah dilengkapi daftar pustaka. Mengutip hadits terkadang cukup matannya saja. Para murid, pengikut, bahkan ulama lainnya tak ada yang mempertanyakan hal itu. Mereka sudah tahu akan tingkat keilmuan penulis kitab. Kepribadiannya, akhlaq mulianya, dan kebaikan-kebaikannya. Di situlah cerminan akhlaq dan adab yang diajarkan kalangan shalih terdahulu. Mereka tidak hanya menghargai karya, namun dengan penuh kerendahan hati; sami’na wa atho’na. Mereka yakin para guru mereka yang mengajarkan dan menulis kitab klasik itu tidak akan menjerumuskan mereka. Di satu sisi mereka juga tidak memaksa orang lain agar bersikap sama. Dan kitab-kitab klasik itu tetap menjadi rujukan hingga detik ini.

Nah, kini sebaliknya, baru hafal al-Qur’an juz 30 sudah berani menghantam pendapat ulama yang hafal 30 juz. Hanya tahu baca kitabnya Imam Bukhari saja bahkan sudah berani “menyaring” kumpulan hadits shahih tersebut. Padahal proses penulisan kitab itu oleh Sang Imam dulu luar biasa perjuangannya. Begitu pula kini, baru tahu baca buku terjemahan kitab fiqh, sudah berfatwa ke mana-mana. Dan dalam konteks sejarah, baru membaca beberapa buku “ilmiah” sudah seenaknya menyanggah tulisan pendahulunya. Bagus kalau menyanggah dengan karya atau mengkaji, sehingga ada semacam uji pendapat. Yang tidak elok saat sekadar mencela, namun tidak bisa membuat karya serupa.

BACA JUGA: Ibnu Hajar: Sumenep Terbukti Layak Raih Penghargaan dari Bangsa Indonesia

Mungkin perlu direnungkan sejenak, periode Zainalfattah dengan generasi saat ini jelas tak sama. Akses informasi tidak sekilat saat ini yang eranya mbah Google. Alat transportasi sekaligus sarana prasarana (sarpras) juga tak semulus masa kini. Kertas, tinta, mesin ketik juga tak mudah menjangkaunya. Mesin cetak penerbit juga langka. Penerangan atau lampu juga nyaris tak semudah kini yang tinggal klik. Sehingga tulisan yang disajikan juga apa adanya. Sebatas informasi awal. Dan itu jelas berguna bagi generasi berikutnya.

Tokoh-tokoh seperti Zainalfattah ibarat penyulut lentera akan gelapnya informasi seputar Madura kala itu. Tulisan-tulisan yang kaya, sejatinya. Ada cerita rakyat, mitos, legenda. Ada juga yang otentik seperti prasasti, catatan-catatan, surat-menyurat formal dan nonformal. Sehingga di situ pembaca diberi keleluasaan: mana yang perlu diambil sebagai sesuatu yang sifatnya ilmu dengan sesuatu yang bersifat seni.

Saya teringat dengan kata-kata salah satu sahabat yang masih kerabat: cara kerja sejarahwan bukan tidak meyakini karya sebelumnya, tapi melakukan penelusuran lebih dalam dari karya-karya masa lalu. Nah, ia lantas melanjutkan, bisa jadi penelusuran itu malah menguatkan karya-karya sebelumnya itu.

Luar biasa jika hal ini benar-benar dipahami oleh generasi masa kini, khususnya yang memiliki minat dan giat terhadap sejarah Madura. Saya yakin bukan hanya akan berterima kasih, pada salah satunya Zainalfattah, namun bahkan akan membelanya (baca: karyanya) ketika diusik oleh mereka-mereka yang tidak menghargai karya orang lain.

Akhir kalam, mustahil seseorang akan menjadi penulis yang baik jika ia bukanlah pembaca yang baik. Sebagaimana mustahil ia akan menghasilkan karya yang baik selama ia tidak bisa menghargai karya orang lain. Salam.

R. B. M. Farhan Muzammily, Jurnalis di Sumenep, dan Peminat sejarah

KPU Bangkalan

Respon (1)

Komentar ditutup.