Budaya

Asal Usul Nama Tempat di Pamekasan Ini Ternyata Terkait dengan Tokoh Asal Sumenep

×

Asal Usul Nama Tempat di Pamekasan Ini Ternyata Terkait dengan Tokoh Asal Sumenep

Sebarkan artikel ini
Tangga pertama menuju Situs Raba di Sumedangan, Pademawu, Pamekasan. (Foto/Mata Madura)

matamaduranews.com-PAMEKASAN-Beberapa nama tempat di Madura banyak yang memiliki kaitan dengan tokoh-tokoh awal di pulau garam ini. Seperti di bumi Gerbang Salam, beberapa nama tempat di sana ternyata memiliki kaitan dengan tokoh ulama besar asal Sumenep yang selanjutnya mewarnai dinamika peradaban di tanah Ronggosukowati itu. Tokoh asal Sumenep itu ialah Kiai Abdurrahman alias Kiai Agung Raba. Lahir dan besar di tanah Sendir, Lenteng, Sumenep.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Kedatangan Kiai Raba di Pamekasan tercatat dalam lembar sejarah dengan tinta emas. Kisahnya menginspirasi masyarakat Pamekasan, dan banyak dari lokasi di sana yang dinamai dalam kaitannya dengan peristiwa legendaris di abad 17 itu.

Syahdan, pada masa Raja Ronggosukowati, Kerajaan Pamelingan (nama sebelum Pamekasan) dilanda musim kemarau yang amat panjang. Dalam beberapa riwayat musim kemarau panjang tersebut hampir selama tiga tahun.  Ada juga riwayat yang mengatakan musim kemarau itu hampir tujuh tahun lamanya.

Di masa itu kehidupan rakyat menjadi sengsara, kekeringan melanda hampir seluruh Kerajaan Pamelingan. Kehidupan Rakyat yang semula makmur menjadi miskin karena sumber mata pencaharian kehidupan mereka adalah bercocok tanam. Banyak rakyat yang sakit dan mati kelaparan.

Situasi itu disikapi Raja Ronggosukowati dengan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa atas musibah yang melanda kerajaan dan rakyat Pamelingan. Hingga akhirnya beliau didatangi wangsit bahwa hujan tak turun di negerinya karena ada dua pertapa sakti di bawah pohon dalam hutan, sebelah timur laut (tenggara) dari ibu kota kerajaan.

Dalam wangsit itu diisyarahkan hujan tak turun karena sang pertapa yang merupakan paman dan keponakan itu tidak memiliki tempat berteduh dari hujan. Kedua orang yang dimaksud ialah Kiai Abdurrahman dan Kiai Abdullah Entol Bungso (ayah Bindara Saot, Raja Sumenep)

Riwayat lain mengatakan, saat kemarau panjang terjadi, Rato Ronggosukowati lantas mengumpulkan Patih, punggawa dan para penghulu agama di keraton untuk membahas kondisi alam Kerajaan Pamelingan yang kian memprihatinkan. Raja lantas memerintahkan Penghulu Agama (modin/ahli agama) untuk mencari petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

Akhirnya penghulu Agama melaporkan hasil istikharahnya bahwa ada sinar kuning keemasan yang memancar dari arah tenggara (timur laut) kerajaan Pamelingan, tepatnya dari dalam sebuah hutan yang cahaya itu muncul dari dua Pertapa Agung yang sedang bertapa hanya beratapkan dedaunan dari pohon dhaman.

Munculnya pertapa dalam wangsit Raja dan istikharah para penghulu agama itu juga sebagai isyarah agar segera ke sana untuk melakukan sesuatu, setidaknya memberinya atap yang layak bagi sang pertapa agung.

Mendapat wangsit dan/atau masukan dari Penghulu agama tersebut kemudian raja memutuskan untuk mencari pertapa itu ditemani oleh beberapa pengawal dan Ahli Agama (Penghulu).

Asal Usul Ombaran, Oberan, dan Karangtonon

Keinginan raja yang mau berkunjung ke wilayah hutan itu, tersiar ke segenap penjuru kerajaan. Berita itu menjadi ramai diperbincangkan masyarakat di sekitar hutan. Mereka penasaran ada apa dan raja mau berkunjung ke siapa, karena memang rakyat tidak tahu bahwa ada pertapa agung yang mendiami hutan itu. Rakyat sepakat akan melihat dan menyambut secara langsung raja yang akan berkunjung ke hutan walau mereka merasa takut untuk masuk kedalam hutan karena banyak binatang buasnya.

Maka berangkatlah Raja Ronggosukowati bersama pasukannya menuju hutan yang dimaksud. Sesampainya di tepi hutan sebagaimana isyarah yang datang, Raja tidak menemukan jalan masuk, karena hutannya lebat dan banyak dihuni binatang buas.

Para ahli agama (penghulu) menyarankan kepada raja untuk memanggil salam, maka Raja pun memanggil salam, dan  terdengarlah suara jawaban salam dari dalam hutan. Raja kemudian memerintahkan kepada pengawalnya untuk membabat hutan membuat jalan masuk menghampiri sumber suara jawaban salam tersebut.

Sementara masyarakat yang menunggu raja di dalam hutan dengan perasaan cemas dan takut, Raja dan Pasukannya terus masuk mencari sumber suara penjawab salam. Hingga belokan keempat, dengan jumlah salam 4 kali juga.

Masyarakat yang menunggu kemudian berteriak “Rato ngombar” (Raja datang) secara berulang-ulang, sehingga tempat datang dan terlihatnya raja pun diberi nama Ombaran hingga sekarang.

Di waktu yang sama, rakyat yang berasal dari selatan hutan yang ikut melihat kedatangan Raja Ronggosukowati, meninggalkan pekerjaan mereka yang sedang membakar tembikar (alat perlengkapan dapur), sehingga karang (halaman) yang dipenuhi tembikar yang dibakar tersebut terbakar (katonon) melahap semua rumah penduduk di daerah itu.

Sehingga daerah itu dinamakan Karangtonon (rumah dan pekarangannya semua terbakar). Sebuah nama Dusun yang masuk wilayah Desa Pademawu Barat. Sedangkan sebagian masyarakat dari daerah lain yang mau datang bingung untuk masuk sambil ngober (berlarian sambil mencari) tempat raja masuk ke alas Rabah, sehingga daerah itu dinamakan Oberan, sebuah dusun di Desa Murtajih Pademawu.

Raja meneruskan perjalannya masuk ke dalam hutan diikuti pengawalnya diikuti masyarakat tadi, berjalan sambil membabat hutan membuat jalan. Sesampainya di sumber suara itu ternyata belum melihat seorang pun dari sumber suara.

Hal ini berlangsung sampai 7 kali salam dengan rute jalan 7 kali  berbelok, hingga kemudian sampailah raja dan pengawalnya serta masyarakat yang ikut rombongan tadi di tempat pertapaan Kiai Abdurrahman. Dan masyarakat pun tahu kalau di dalam hutan itu ada penghuninya.

Tempat masuk dan jalan di mana Raja Ronggosukowati hingga sampai sekarang menjadi jalan masuk 7 kali belokan  ke pasarean/asta Kiai Abdurrahman Buju’ Agung Rabah, dimulai dari pintu masuk Tegal Sari hingga pasarean/Asta Rabah.

RM Farhan