Oleh: Fitriyah*
Gemerlap merah putih sudah terkibar di mana-mana. Di kantor-kantor, sekolah-sekolah, bahkan di lorong-lorong. Semoga masyarakat Indonesia tidak hanya ikut-ikutan waktu, tetapi benar-benar menanamkan jiwa nasionalismenya terhadap tanah air tercinta Indonesia, yang kemerdekaannya diraih dengan tumpah darah dan perjuangan.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Merdeka bukanlah kemenangan, tetapi merdeka adalah jalan. Begitulah kata-kata Sang Proklamator. Sungguh, hari ini, menjadi hari yang mengawali perjalanan bangsa menuju kemerdekaan yang sesungguhnya. 72 tahun Indonesia merdeka, selama inilah Indonesia belum seutuhnya merdeka. Di mana-mana kebijakan diintervensi oleh asing, kebebasan dikekang, kekayan intelektual seakan dibatasi, simpang siurnya keadaan dalam negeri, masihkah kita mengatakan telah merdeka? Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah di mana bangsa ini dapat berjalan sebagaimana cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
***
Kemerdekaan bukan diraih dengan berleha-leha. Perjuangan bangsa dengan segenap tumpah darah wajib kita junjung tinggi. Bambu runcing menjadi senjata bersejarah yang tak akan pernah lekang diingat oleh zaman. Bagaimana bisa sebuah bambu runcing yang tak sekuat baja melawan tanker-tanker yang berkekuatan lebih dari baja. Dapat kita lihat bagaimana andil Tuhan bermain untuk memperlihatkan betapa sebuah kesungguhan yang membara demi kehidupan anak cucu bumi pertiwi yang lebih jaya dan aman di masa mendatang, mampu melawan kekuatan sekuat apapun itu. Sesungguhnya alat bukanlah patokan, tidak peduli dengan apa kita bergerak, tetapi kesungguhan dan keikhlasan dalam berjuang untuk kemerdekaan adalah yang utama.
Maka, seremonial belaka tak akan pernah cukup membalas segala pengorbanan para pejuang tanpa aksi dan kerja nyata para penerus bangsa ini. Dulu merdeka atau mati, jika bangsa ini enggan dan tak mampu melawan kolonialisme dan imperialisme. Namun, hari ini perjuangan bukan semata-mata kekuatan fisik atau alusista, melainkan kekuatan idealisme dan pemahaman terhadap konspirasi yang sengaja dicampur adukkan dengan kerasnya kehidupan.
Kini, tak perlu kita singsingkan lengan dengan membawa berbagai peralatan canggih untuk melawan para kolonialis. Namun, senjatamu adalah pengetahuan. Sebab, bangsa ini sudah tidak lagi dijajah dengan penguasaan wilayah oleh para kolonialis dan imperialis, tetapi dengan penjajahan idealisme yang sungguh dapat membunuh karakter dan moral anak bangsa.
Sungguh ini lebih krisis, karena apabila bangsa ini sudah kehilangan paradigma dan ideologi bangsanya, maka tunggulah keruntuhannya. Mungkin, masih dianggap sepele oleh beberapa lapisan masyarakat, namun hal ini menjadi pusat perhatian yang harus diperhatikan oleh semua pihak dan elemen negeri ini. Betapa tidak, negeri ini sudah krisis segalanya. Krisis moral, pendidikan, akhlak, paradigma dan kontrol sosial yang tak lagi berfungsi.
Maka di momentum kemerdekaan ini, bangkitlah wahai anak-anak bangsa! Jadikanlah setiap helaan nafasmu adalah sesuatu yang berarti, berarti untuk dirimu, bangsa dan negerimu dengan semangat kemerdekaan.
Mari kita isi hari demi hari dalam kemerdekaan ini dengan semangat kelimuan yang tinggi, agar kita tak lagi diperbudak oleh bangsa asing yang hendak menguasai kekayaan bumi pertiwi. Terlebih kaula muda, bangkitlah dari lamunanmu. Kini rasa malas dan rendah dirimu sudah tidak berarti. Isilah seluruh aktivitasmu dengan segala hal yang mampu menunjang kemajuan masa depanmu.
Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik (Buya Hamka). Ilmu adalah kunci dari kehidupan, maka jadikanlah membaca sebagai jembatan untuk menuju jendela ilmu. Maka jadikanlah membaca sebagai bagian dari budaya bangsa, karena dengan membaca akan membuka jendela dunia, gerbang ilmu pengetahuan.
Bangsa yang memiliki sumber daya manusia unggul, menghasilkan barang kompetitif dan menerapkan teknologi, tidak mungkin terjadi tanpa adanya budaya membaca. Dalam hal membaca sebagai awal kemajuan bangsa, mahasiswa di negara industri maju ternyata memiliki rata-rata membaca selama delapan jam per hari. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap hari (UNESCO, 2005).
Kesadaran kritis tumbuh melalui budaya membaca yang pada akhirnya akan melahirkan masyarakat cerdas, berdaya saing tinggi dan produktif. Kesejahteraan pun tinggal selangkah lagi, sebagaimana tujuan negeri ini yang termaktub dalam UUD ’45 dan ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila.
Berdayakanlah segala potensi, asahlah dengan melakukan budaya membaca yang komperehensif, agar kita mampu menjadi bangsa yang merdeka dari kebodohan, merdeka dari keterbelakangan, merdeka dari keterpurukan, merdeka dari kesulitan hidup menuju kesejahteraan, kemakmuran, dan peradaban negeri ini. Saya Indonesia, Saya Membaca, Saya Merdeka.
* Aktivis Muslimah STAIN Pamekasan, Madura.