Oleh: Heni Listiana
Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak sesungguhnya sangat bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan anak. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 pasal 52 ayat (1) setiap anak berhak atas pelindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. (2) hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Negara sebagai penentu kebijakan harus memberikan rasa aman kepada seluruh warga negaranya, termasuk anak-anak. Perlindungan terhadap mereka, korban dan keluarganya, akibat kekerasan seksual menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Masih segar dalam ingatan kita betapa kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun di tangan 14 orang pelaku. Peristiwa ini menunjukkan lemahnya pengawasan negara dan masyarakat terhadap tindakan kejahatan kepada anak.
Belum lagi kasus yang menimpa anak-anak di Surabaya. Pelaku maupun korbannya adalah anak-anak. Mereka mengakrabi dunia seksual sebelum waktunya, bahkan mereka menjadi budak-budak barang haram narkoba. Dalam usia belia mereka harus menikmati racun ganas yang mampu memberikan kenikmatan sesaat. Hal ini semakin memperkuat bahwa nilai-nilai kepedulian terhadap anak-anak di lingkungan masih rendah.
Kepedulian terhadap nasib generasi penerus bangsa yang tercabik karena perilaku amoral telah mengantarkan pada pernyataan kekhawatiran “Indonesia Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anakâ€. Sejumlah pemerhati anak sampai politisi berteriak dan mengutuk segala aksi kekerasan seksual terhadap anak. Tidak tanggung-tanggung dorongan untuk menjatuhkan hukum kebiri semakin menguat.
Hal ini berdasarkan akibat fisik maupun psikis yang harus diterima anak saat mereka menjadi korban kekerasan seksual. Trauma psikis tidak mudah untuk disembuhkan, bahkan saat pelaku telah lunas mempertanggungjawabkan perbuatannya dibalik jeruji besi. Perasaan sedih dan terganggungnya pertumbuhan dan perkembangan anak akan ditanggung seumur hidup.
Jangankan berkaitan dengan kekerasan seksual, menyakiti anak-anak baik fisik maupun psikis tidak diperbolehkan. Agama memerintahkan kepada penganutnya bahwa, anak dan perempuan termasuk dalam golongan yang harus mendapat perlindungan lebih dibanding lainnya. Sebagaimana falsafah timur disebutkan bahwa anak adalah kehormatan diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Ketika terjadi kekerasan seksual, maka akan mengganggu tumbuh kembang anak, yang mengancam masa depan.
Kekerasan seksual baik itu anak-anak sebagai korban atau pelakunya diakibatkan oleh tontonan yang tidak mendidik. Penyebaran melalui gambar, video, atau internet telah menjadi pemicu menjamurnya perilaku seksual menyimpang. Tidak dapat dipungkiri bahwa atas nama tuntutan gaya hidup kadang orang tua terlalu bebas membiarkan anak-anak berseluncur dalam dunia tanpa batas.
Setiap orang tua harus siap menghadapi sebuah konspirasi terselubung berkaitan dengan perusakan moral bangsa. Anak-anak kita berada pada zona berbahaya yang dapat membelokkan bahkan menjerumuskannya dalam kemuraman akut kapanpun. Melalui sejumlah sistem informasi dan komunikasi mereka sengaja merusak generasi bangsa. Oleh karenanya pendadaran terhadap pentingnya pendidikan moral dan akhlak menjadi sangat penting.
Pertarungan nilai-nilai warisan leluhur dan nilai baru yang datang kemudian menjadikan anak-anak tercerabut dari akar budaya bangsa. Meski tidak semua nilai kebudayaan baru itu jelek tetapi media sosial mampu menjadi rujukan nilai baru bagi anak-anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 pasal 8 ayat (1) setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
Kepentingan dunia bisnis tanpa memperhatikan sisi kemanusiaan telah membius anak-anak masuk dalam perangkapnya. Kemudahan dan kemurahan aksesibilitas tersebut benar-benar membuai dan menjadikannya seolah-olah menjadi hal yang wajar. Melindungi anak dari buruknya kampung maya menjadi agenda yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan dewasa ini.
Etika pendidikan ramah terhadap anak menjadi solusi bagaimana membangun generasi yang kuat dan tangguh. Memahami dunia mereka sebagai bagian penting dari pelestarian kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkadang keegoan dibungkus dengan kesibukan pekerjaan menjadikan kita manusia-manusia yang meninggalkan kodrat sosialnya.
Lingkungan menjadi tempat penting bagaimana anak mampu mengembangkan bakat, minat, dan kreativitasnya. Semakin kondusif lingkungan maka semakin kuat kepercayaan diri anak meraih masa depannya. Curahan kasih sayang dan perhatian tidak henti-henti melumuri jiwa mereka. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh anak-anak karena harus menanggung beban ekonomi. Karena para tetangga dan lingkungan bahu membahu untuk memberikan kebutuhan dasar mereka.
Anak-anak dapat menjalankan fungsi-fungsi perkembangannya secara baik dan benar. Fisik mereka tumbuh karena terpenuhi gizi makanannya. Psikis mereka akan berkembang jiwa-jiwa penuh welas asih yang jauh dari kekerasan. Dan spiritual mereka semakin menguat karena memperoleh curahan pendidikan dan pengajaran ketuhanan dari lingkungannya.
Siapapun diantara kita, sebagai warga negara yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, harus ikut berpartisipasi menjalankan perilaku yang sesuai dengan tuntunan agama “tidak membiarkan tetangga kita tidur dalam keadaan laparâ€. Kesadaran ini menjadi hal penting untuk menumbuhkan sikap masyarakat yang bernilai bahagia. Menebar kebahagiaan bagi mereka yang membutuhkan, bukan hanya materi yang dibutuhkan tapi juga perhatian dan kepedulian kepada mereka.
Menganggap mereka, anak-anak di lingkungan, sebagai bagian dari diri kita. Rasa pedih dan susah mereka adalah milik kita. Sebuah lingkungan yang tanpa sekat, memberikan kebebasan anak untuk memperoleh cinta kasih dan perhatian. Membiarkan mereka belajar tentang arti hidup menjadi manusia dan kelak mereka pun mampu memanusiakan manusia.
*Dosen STAIN Pamekasan.