Budaya

LUDRUK MADURA: SENI PERTUNJUKAN DAN KUASA AJHING (3)

×

LUDRUK MADURA: SENI PERTUNJUKAN DAN KUASA AJHING (3)

Sebarkan artikel ini
LUDRUK MADURA: SENI PERTUNJUKAN DAN KUASA AJHING (3)

MataMaduraNews.comSUMENEP-Dalam perkembangannya, ludruk memiliki ragam cerita yang tak lepas dari pengaruh tokoh dan kondisi geografis serta sosio-kultur dimana ia berkembang. Karenanya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi Prancis, Helene Bouvier, pada akhir tahun 90-an sedikit-banyak menjadi referensi dalam melihat keterkaitan antara ludruk dan pulau Madura, hingga akhirnya muncul ragam sebutan baru untuk sebuah ludruk yang mencirikan produk kesenian di pulau garam yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur ini.

Ludruk Madura dan Pengaruh Ajhing Lama
Tentang Ludruk Madura ini, mengutip James L Peacock, Helene menyebut, selain melakonkan adegan-adegan kehidupan sehari-hari (persoalan keluarga, suami-istri, perkawinan, dsb.), ludruk juga melakonkan episode perang kemerdekan serta cerita pahlawan dalam legenda-legenda Madura dan Jawa. Pernyataan yang dibukukan pada tahun 1987 itu dilakukan Peacock pada tahun 1962-1963. Selain menyebut soal jenis tontonan kaum buruh, ia (Peacock, 1967a: 44) menulis bahwa di Madura (di seberang teluk Surabaya) juga terdapat teater yang disebut “Ludruk”.

Keterkaitan Madura, dalam Helene (2002; 134) juga disebutkan bahwa Peacock (1967b: 328) menulis: “Setiap [pertunjukan] memperlihatkan baik unsur kebudayaan tradisional Jawa dan Madura maupun tema modern nasionalis-komunis-Indonesia”.

Menurut bab genre kesenian yang sebenarnya dimaksudkan peneliti Prancis itu untuk mengulas evoluasi sejarah dan peristilahan ludruk ini, indikasi awal lahirnya ludruk Madura yang popular di Sumenep di kemudian hari, dapat dibaca dari pernyataan-pernyataan Peacock akan meleburnya unsur Madura dalam bagian-bagian pentas ludruk di masa awal kejayaan Cak Durasim. Selain itu, sebuah artikel yang ditulis Slamet Munsi Dian Pribadi mencatatkan terbentuknya ludruk di Madura (Sumenep) dimulai oleh Yudo Prawiro dengan membentuk komunitas Seni Remaja di Desa Pagar Batu, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Meski tanpa tahun, melihat pergantian kepemipinan grup ludruk Rukun Famili _yang dibentuk Pak Yudo tak lama setelah pembentukan komunitas Seni Remaja, terjadi pada tahun 1975, maka perkiraan terkuat lahir dan berkembangnyanya ludruk Madura tak jauh dari ulasan Peacock, yakni pada tahun 1960-an.

Apalagi, secara lebih lanjut pengaruh ke-Madura-an bahkan lebih khusus Kabupaten Sumenep dapat dilihat dari satu istilah terakhir tentang seni pertunjukan ini yang disebut Helene juga muncul disana-sini setelah istilah ketoprak dan loddrok. Istilah yang diurutkannya di posisi ketiga itu adalah ajhing. Hasil wawancara Helene (2002: 135) dengan anggota rombongan dan penonton ludruk di Sumenep, bentuk teater ini (ajhing) dianggap oleh semua rombongan yang diwawancarai sebagai genre drama Madura, khususnya di daerah Sumenep.

Mendukung Helene, bukti cikal-bakal ludruk Madura disebutkan oleh Kiliaan. Menurut Helene, Kiliaan mengacu pada “panjdjhak (Bangkalan, Pamekasan): rekan sepermainan dalam pertunjukan topeng, di dalam salabadhan atau podjhijan; juga pemain orkes, lihat nadjagha.” Belum lagi, selain panjdjhak yang disebut Helene berada di bawah entri ajhing, pasangan Brandts Buys-van Zijp (1928: 149-153) dan Pigeaud (1938: 332-334) kata dia menggunakan istilah yang sama juga, ditambah istilah semprong, yang menurut Kiliaan, menyangkut pelawak atau perangkat gong dari bambu yang mengiringi mereka pada acara salabadhan.

Meski Depdikbud (1986) menyatakan keberadaan ajhing Madura berbeda dengan ajhing yang mereka kenal atau pentaskan, yakni merupakan suatu pertunjukan yang bersifat “doa pembawa kebaikan atau keagamaan”, hasil wawancara Helene dengan beberapa rombongan loddrok di Sumenep dapat mencirikan sebuah kesimpulan bahwa ajhing menjadi cikal-bakal perkembangan ludruk Madura di kemudian hari.

Informasi yang didapat dari rombongan loddrok Jata Kemala (dari Desa Juruan Daya, Kecamatan Batuputih) misalnya, kata Helen, menyatakan bahwa sebelum munculnya rombongan Karya Putra rombongan perintis dari tahun 60-an yang kemudian pecah dan menjadi rombongan Jata Kemala dan Karya Kemala hanya ajhing yang dimainkan. Berdasarkan data ini, selain menegaskan muasal serta pengaruh ajhing terhadap ludruk Madura, catatan tahun tentang berdirinya rombongan perintis ludruk di tahun 60-an semakin memperkuat pernyataan Peacock sebagai hasil studi lapangannya.

itambah dengan pernyataan bahwa pendahulu Karya Putra telah memainkan ajhing pada sebelum tahun 60-an, maka wajar bila Helene (2002: 136) semakin mantap mengatakan, “loddrok Madura itu diilhami unsur dagelan ajhing lama: permainan kata, mimik, gerak badan, serta wajah berias warna hitam dan putih. Pelayan-pelayan tidak memotong percakapan tokoh utama, dan sebagian besar adegan lucu mereka bersifat visual atau kial: kapas di lubang hidung yang bergerak ketika tokoh bernapas, satu lengan kemeja yang dibiarkan melambai tidak dipakai, dan sebagainya. Raja tidak boleh merayu perempuan dan langsung naik panggung tanpa menari. Sebaliknya, para patih (pate) dari dulu selalu menari, dan berdiri ketika raja masuk, sebelum duduk kembali.” Tahap berikutnya, menurut Helene adalah ludruk-sandiwara dan terakhir muncul pula ludruk-ketoprak pada tahun 70-an.

emang banyak orang serta versi yang menyebutkan bagaimana ludruk Madura akhirnya berdiri dan bagaimana ajhing memiliki kuasa dalam mempengaruhi kemunculannya. Namun sumber Helene dari bekas rombongan ludruk yang sama dengan Slamet Munsi Dian Pribadi, yakni Rukun Famili, menyebut bahwa sebelum kemunculan Rukun Famili, Rukun Santoso yang dirintis oleh kakak-beradik telah sejak jaman Belanda mementaskan sandiwara dan bukan ketoprak, yang semakin mendekatkan asumsi bahwa benar di awal abad 20-lah ludruk Madura juga muncul disertai pengaruh ajhing lama yang telah berkembang sebelum akhirnya banyak dipengaruhi unsur Jawa Timur-an.

bersambung…

rafiqi
*) disusun dari berbagai sumber

KPU Bangkalan