Budaya

Mengenal Tari Dhangga’, Budaya Madura dari Pamekasan

×

Mengenal Tari Dhangga’, Budaya Madura dari Pamekasan

Sebarkan artikel ini
Gerakan Ketiga Tari Dhangga' Pamekasan. (Foto Zainal for Mata Madura)

matamaduranews.comPAMEKASAN – Tari Dhânggâ’ merupakan salah satu kebudayaan Madura yang berasal dari Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan. Nama budaya tersebut berasal dari akronim Madura (kèrata bhâsa) ialah Atangdhâng Magâgâ’ (Dhang dan Ga’) yang artinya menari dengan gagah. Sayang, tari ini belum diketahui pencetusnya dan kapan dicetuskan, namun yang jelas berasal dari Malangan, Pademawu Timur, Pamekasan.

Tarian tersebut tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Pademawu yang secara geografis terletak di pesisir pantai yang mayoritas mata pencahariannya sebagai pelaut. Begitu juga dengan Tari Dhânggâ’ yang menggambarkan kehidupan pelaut mulai dari proses persiapan melaut, meliputi mendorong pelahu ke laut, mendayung sekaligus mengendalikan ke tempat tujuan dan akhirnya kembali ke tepi pantai. Sedangkan jumlah personel yang dibutuhkan adalah sembilan atau sepuluh penari. Ditambah properti perahu mainan dan delapan buah dayung yang dipegang oleh masing masing penarinya, dengan posisi satu orang di depan sebagai pemimpin, empat orang di kanan perahu dan empat orang di kiri perahu.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!
Selamat
Ucapan Selamat Bupati
Sukses
Gerakan Pertama Tari Dhangga' Pamekasan. (Foto Zainal for Mata Madura)
Gerakan Pertama Tari Dhangga’ Pamekasan. (Foto Zainal for Mata Madura)

 

Budaya yang berada di urutan nomor tiga di Kabupaten Pamekasan ini memiliki lima macam gerakan. Pertama, tari pembuka hanya dilakukan oleh pemimpin tari yang menggambarkan proses persiapan melaut dengan cara memeriksa kesiapan perahu, kelengkapan barang-barang yang dibutuhkan serta anggota yang akan ikut melaut.

”Kandungan maknanya adalah segala aktivitas akan terlaksana dengan baik jika dipersiapan dengan baik dan direncanakan secara matang,” jelas Zainal, pewaris Tari Dhânggâ’ dari sesepuhnya ketika ditemui Mata Madura, 17 Juni lalu.

Tari pembuka diiringi musik kentrungan yang berbunyi Ghem-Paaa’-Pring-Nang anang. Sedangkan akhir musik atau sebagai penanda untuk pindah ke musik berikutnya dan gerakan selanjutnya ialah menyerukan syair Madura seperti kembhâng jhâmbhu ko’cangko’an, maddhâ ambu ko’roko’an.

Selanjutnya tari mendorong perahu yang menggambarkan kebersamaan, kekompakan, dan persaudaran sesama pelaut dalam satu kapal. ”Segala persoalan yang berat dan sulit sekalipun akan dapat teratasi dengan baik bila ditunjang dengan kebersamaan yang baik dan kompak serta penuh dengan rasa persaudaraan,” imbuhnya.

Gerakan Kedua Tari Dhangga' Pamekasan. (Foto Zainal for Mata Madura)
Gerakan Kedua Tari Dhangga’ Pamekasan. (Foto Zainal for Mata Madura)

 

Tari mendorog perahu diiringi lagu yang berbunyi Ding-dingadingding-dingadingding-dingadingng-Ca’-ca’-ca’ hourdong. Alunan musik tersebut terus dimainkan hingga posisi perahu mainan yang dijadikan properti berada tepat di depan menghadap para penonton yang sedang menyaksikan.

Prosesi kemudian dilanjutkan dengan Tari Dayung. Bagian ini menunjukkan gerakan mendayung perahu sekaligus mengendalikan dari hembusan angin kencang dan terpaan ombak. ”Dalam menjalankan roda kehidupan dibutuhkan kepercayaan kegigihan dan kesabaran, sehingga setiap persoalan hidup yang kadang datang tidak diduga dapat terselesaikan dengan baik,” kata Zainal, menerangkan.

Gerakan mendayung diiringi musik yang diberi nama Nolimaan. Bunyinya adalah Pangending- ding, Pangending-ding, Pangending-ding…, Andung-dering-ding dung-tapeng. Musik tersebut akan berhenti setelah semua penari mengucapkan ‘ala-hayyu…oreee…’ secara bersamaan.

Keempat, Tari Pajâng (Tari Payang) yang memperlihatkan para nelayan di waktu menangkap ikan. Di sela-sela gerakannya, para penari menebar payang. Musik yang mengiringi gerakan ini berbunyi Ding-dingading ding,… Jhagghur…, ding-dungding- ding-dingadingding jhagghu. ”Pekerjaan harus dikerjakan sesuai dengan keahliannya atau porsinya masing masing. Kalau tidak, maka hasil yang diperoleh tidak akan optimal,” tukasnya.

Gerakan Ketiga Tari Dhangga' Pamekasan. (Foto Zainal for Mata Madura)
Gerakan Ketiga Tari Dhangga’ Pamekasan. (Foto Zainal for Mata Madura)

Terakhir, tari menuju ke pantai atau tepi laut yang menggambarkan melaut sudah selesai dengan wajah gembira yang berseri-seri. Wajah berseri-seri tersebut yang ditunjukkan untuk mengungkapkan kegembiraan yang luar biasa karena berhasil melaut dengan membawa ikan yang banyak. Gerakan ini diiringi Musik Camplongan yang berbunyi Jahur-dore-aa, anding jahur-ando-rea, jahur-dore-aa, andeng jahur lea-lae. ”Suatu kebahagiaan adalah hasil dari sebuah perjuangan,” ujar Kepala SDN Tanjung II, Pademawu tersebut.

”Sebuah kehidupan dapat diibaratkan menjalankan sebuah perahu ket engah samudra yang sewaktu-waktu diterpa ombak besar dan angin yang begitu kencang. Sehingga, memungkinkan perahu tersebut lepas kendali, kehilangan arah tujuan, bahkan bisa tenggelam dibawa arus. Untuk mengatasinya memerlukan perencanaan, kerja keras, kebersamaan, rasa persaudaraan serta memerlukan kesabaran, percaya diri, kegigihan dan tawakkal,” jelas Zainal mengenai makna keseluruhan dari Tari Dhânggâ’.

Selain itu, ada hal unik lagi dari tarian yang satu ini. Yaitu di setiap gerakan akan diselingi dengan kidungan (ngijhung) yang disesuaikan dengan musik pengiring. ”Ngijhung di antara setiap komposisi tari,” imbuh pewaris Tari Dhânggâ’ itu.

Kendati demikian, budaya tersebut masih harus tetap eksis dan dicintai oleh banyak kalangan, terutama masyarakat Pulau Garam, jika dilihat dari makna filosofinya yang bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata. Motivasi melestarikan budaya tersebut harus ada, sebab bisa tergeser oleh perkembangan zaman yang membawa budaya asing secara perlahan-lahan ke Indonesia.

Zainal, Pewaris Tari Dhangga' Pamekasan. (Foto UF for Mata Madura)
Zainal, Pewaris Tari Dhangga’ Pamekasan.
(Foto UF for Mata Madura)

 

”Nanti kita kalau tidak melestarikan, pasti tergeser oleh budaya luar,” tegas Zainal.

Jika tidak, masyarakat Madura yang notabene sebagai pemilik budaya tersebut bisa tidak memahami jika menakar beberapa tahun ke depan kalau generasinya sudah banyak yang tidak cinta. Ironisnya, yang demikian disebut Zainal bisa menjadikan tamu dalam rumah sendiri dan harus belajar terhadap negara lain.

”In sya Allah, generasi Madura kalau mau tahu budaya Madura yang betul atau yang asli, kita harus belajar ke Australia atau ke Belanda,” katanya, bernada miris.

Belajar dari pengalaman, beberapa waktu lalu banyak orang asing yang mendatangi Zainal sebagai penerus Tari Dhânggâ’ dari sesepuhnya untuk mengambil gambar dan sekaligus merekam gerakan tarian tersebut. Karena itu, ia khawatir jika tidak ada penerusnya kelak budaya ini akan dengan mudah diakui oleh bangsa lain.

”Saya pernah kedatangan dari Mellburg, pernah dari Selandia Baru. Saya ini disuting, makanya saya curiga itu pasti mau dibawa pulang ke sana (Selandiar Baru, red),” ujar Zainal menceritakan kecurigaannya.

| syahid/farhan