Religi

Metamorfosis al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi (4)

×

Metamorfosis al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi (4)

Sebarkan artikel ini
Imam-al-Ghazali
Sketsa Imam al-Ghazali (Foto/google)

Oleh: Jazuli Muthar*

matamaduranews.com-Filsafat bagi al-Ghazali bagian dari dialektika antara ilmu alam, ilmu rasional dengan ilmu hati dan ruh. Karena itu, Tahafut al-Falasifah (kerancuan berfilsafat) merupakan sanggahan al-Ghazali terhadap konsep Filsuf Yunani yang ditransformasi para Filsuf Muslim, seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu ‘Arabi dalam 20 item menyangkut alam dan Tuhan.

Sanggahan al-Ghazali sebenarnya, perbedaan cara pandang dan pengertian tentang istilah-istilah, dari sudut masing-masing Filsuf. 20 item pemikiran Filsuf Yunani yang dikembangkan Filsuf Muslim yang diruntuhkan al-Ghazali hanya terdapat kesalafahaman definisi, tidak masuk kepada substansi Filsafat. Itu penegasan bahwa al-Ghazali tidak menolak buta konsep berpikir Filsuf dalam Islam.

Pernyataan al-Ghazali ini tertuang dalam al-Munqidz yang menyebut, tentang ilmu alam yang membahas unsur-unsur, seperti air, udara, tanah dan api, serta penelitian dokter kepada pasien. Begitupun Islam tidak menolak ilmu kedokteran dan ilmu alam, kecuali yang tertulis dalam   Tahafut al-Falasifah.

Sembilan puluh (90) tahun setelah al-Ghazali mengoreksi Filsuf Muslim, Ibnu Rusyd (595H/1198) sebagai Filsuf Muslim generasi setelah pasca Ibnu ‘Arabi, juga ikut mengoreksi kritik nalar al-Ghazali dalam Tahafut at-Tahafut (kerancuan di atas kerancuan). Menurut Ibnu Rusyd, seluruh basis argumen al-Ghazali salah, karena mengacu bahwa kehendak Allah itu sama seperti kehendak manusia. Padahal Nafsu dan kehendak hanya bisa dimengerti oleh makhluk yang memiliki kebutuhan. Ini salah satu isi pemikiran Ibnu Rusyd akan kritik nalar al-Ghazali.

BACA JUGA: Metamorfosis al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi (3)

Memang, lima tahun sebelum wafat, al-Ghazali mencurahkan kegundahan hatinya lewat al-Munqdiz. Ia bercerita jejak hidup dan pemikirannya dalam goresan kata, yang ter nyata menyimpan samudra pengetahuan. Dalam catatan keberpalingan hidup menuju Sufisme, al-Ghazali ingin mengkonsentrasikan diri pada jalan sufi lewat pengetahuan (ilmu) dan amal, yang harus ditempuh dengan tanjakan-tanjakan ruhani dan membersihkan dari akhlak-akhlak tercela serta sifat jahat. Sedemikian, aku al-Ghazali, hati menjadi kosong dari selain Allah Swt, kemudian mengisinya dengan dzikir.

Pengetahuan (ilmu) sufi bagi al-Ghazali begitu mudah di dapat, lewat para guru Sufi dan kitab-kitab tasawuf hasil karya Sufisme dahulu. Tapi, yang menjadi sulit baginya adalah mengamalkan (melaksanakan) ilmu-ilmu tasawuf lewat bimbingan para syech (guru) tasawuf. Karena itu, al-Ghazali memilih berhenti dari aktivitas mengajar di Sekolah Nidzamiyah dan mencurahkan dalam kehidupan Sufisme, melalui bimbingan para syech Sufi, sebelum menetap dan wafat di padepokan Sufinya, di Thus, tahun 1111 M, pada usia 53 tahun.

Ilmu tasawuf bagi Al-Ghazali ibarat oase di tengah gurun pasir. Di tengah kehadagaan hidup, tiba-tiba ada secercah sumber kehidupan yang memberi ketentraman bathiniyahnya. Semenjak usia muda hingga usia 48 tahun, al-Ghazali mengaku sudah menyelami samudera luas ilmu Allah Swt.

Menyelidiki setiap kepercayaan, mendalami setiap aliran pemikiran (madzhab) dan mengkaji setiap ajaran untuk membuktikan yang mana paling benar. Apakah bathiniyah, zhahiriyyah, kalam, filsafat dan tasawuf, termasuk kaum Zindiq dan Mu ‘athil. Zindiq berarti menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan. Sedang Mu’athil golongan yang menafikan sifat-sifat Tuhan; Allah melihat dan mendengar dengan Dzat-nya,bukan sifat-sifatnya.

Dalam pencarian itu, al-Ghazali melepaskan tradisi dan taklid yang membelenggu kehidupannya menuju keyakinan potensi sebagai warisan dari Allah Swt yang bersifat fitrah. Dari hasil pencarian itu, al-Ghazali tidak memiliki pengetahuan kecuali apa-apa yang dilihat dari mata indera dan akal sehat. Menurutnya, apa-apa yang dihasilkan mata dan akal ternyata menipu.

Keraguan dan kekhawatiran terhadap yang ditipu oleh indera dan rasio tidak bisa dimentahkan kecuali dengan argumen-argumen logis. Namun, katanya, apakah bisa menghilangkan keraguan tanpa argumen logis. Jika argumen logis menjadi refrensi utama dan terakhir, maka tertutup jalan menuju kebenaran. Sebab, kata Al-Ghazali, begitu sempit dan hina Tuhan, apabila hal-hal yang bersifat metafisika, bisa dilukiskan dengan dalil-dalil rasio.

Pengetahun sejati bagi Al-Ghazali bukan diraih dari argumen-argumen logis. Pikiran manusia akan menjadi objektif apabila hati manusia tersinari pancaran Nur Ilahi (cahaya Tuhan). Cahaya itu, kata Al-Ghazali yang perlu dicari untuk mencapai (pengetahuan sejati tanpa penghalang).

Kendati demikian, kata al-Ghazali, seseorang yang sibuk mujahadah untuk meraih pengetahuan sejati (makrifatullah) melalui pancaran Nur Ilahi seringkali tertipu setan. Mereka cenderung melepaskan hukum syari’at, mencela orang-orang karena merasa hatinya dekat dengan Allah Swt, menilai syari’at hanya berlaku bagi tingkatan spiritual rendah. Al-Ghazali menilai mereka tidak mengetahui ilmu tasawuf sebenarnya dan mereka melakukan ilmu tasawuf tanpa bimbingan guru yang patut diteladani.

Tasawuf bagi Al-Ghazali merupakan elaborasi ilmu, amal dan sifat terpuji bagi mereka yang akan meraih makrifatullah. Dia harus melalui tanjakan-tanjakan rohani dengan ilmu tasawuf dan bimbingan seorang guru spiritual, serta membersihkan hati dari akhlak tercela. Sehingga hati para salik (pejalan) menjadi kosong dengan banyak ingat Allah (dzikrillah).

Bersambung

* Dosen tinggal di Sumenep

 

KPU Bangkalan