matamaduranews.com-Saya adalah penasihat hukum yang ditunjuk oleh masyarakat pesisir, yang tergabung di dalam Gerakan Masyarakat Tolak Reklamasi (GEMA AKSI), akan memberikan pendapat hukum sebagaimana berikut:
Rencana reklamasi pantai di Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, yang diorganisir oleh Kepala Desa Gersik Putih, bertentangan dengan:
1. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) huruf a, Pasal 28 huruf b, Pasal 30 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf g, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sumenep Nomor 12 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumenep Tahun 2013-2033;
Di dalam Perda 12/2013 tentang RTRW ini, jelas, kawasan sempadan pantai di Gapura, termasuk di dalamnya yang ada di Desa Gersik Putih, masuk sebagai kawasan lindung dalam kategori kawasan perlindungan setempat.
2. Ketentuan Pasal 52 ayat (2) huruf a, Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
PP ini sebagai regulasi yang dijadikan salah satu landasan atas terbitnya Perda 12/2013 tentang RTRW Sumenep, turut mempertegas posisi sempadan pantai sebagai kawasan perlindungan setempat. Berdasarkan ketentuan PP ini, jadi tolong pantai Gersik Putih itu jangan diotak-atik, jangan direklamasi menjadi tambak.
Pantai, merujuk pada ketentuan Pasal 100 ayat (1) PP 13/2017, hanya boleh dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau; pengembangan struktur alami dan struktur buatan guna mencegah abrasi; pemanfaatan untuk pelabuhan; pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai, pelabuhan, bandar udara dan pembangkitan tenaga listrik.
Selain itu, jelas dan terang dilarang. Apalagi direklamasi menjadi tambak yang sudah pasti dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan.
3. Pasal 5 ayat (2) huruf b, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Di dalam UU 26/2007 ini, jelas dan terang, sempadan pantai dinyatakan sebagai kawasan lindung yang masuk kategori kawasan perlindungan setempat.
UU 26/2007 tentang Penataan Ruang ini adalah landasan terbitnya PP 13/2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Perda 12/2013 tentang RTRW Sumenep.
Dalam Pasal 29 ayat (1) UU 26/2007, dinyatakan bahwa pantai adalah salah satu ruang terbuka hijau publik yang dikelola oleh pemerintah daerah untuk kepentingan masyarakat umum.
Pantai, berdasarkan penjelasan Pasal 61 huruf d UU 26/2007, dinyatakan sebagai kawasan milik umum.
Jadi, bila ada pantai yang diprivatisasi, apalagi sampai ada Sertipikat Hak Milik (SHM)-nya, apalagi kemudian di-planing untuk dialihfungsikan menjadi tambak guna kepentingan perorangan, jelas menurut saya adalah kekeliruan yang nyata.
Ikhwal pantai dan/atau laut itu kini ber-SHM, tinggal mari kita kawal bareng-bareng, untuk dilakukan telaah ulang ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Cq. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sumenep. Sebab, dalam penerbitan SHM itu, ada dokumen tentang riwayat dan/atau asal-usul tanah. Selain itu, ada surat riwayat bebas sengketa.
Jadi, nanti kita minta BPN Kab. Sumenep untuk membuka data-data yang menjadi prasyarat penerbitan SHM itu. Karena dalam penerbitan SHM ada syarat administratif dan pengamatan lapangan melalui pengukuran tanah. Tidak ujug-ujug terbit.
Saya bersyukur, berdasarkan pemberitaan yang saya acces, BPN Kab. Sumenep “telah membuka pintu” guna mengkaji atas pantai di Gersik Putih yang ber-SHM itu.
Mari, song osong lompung, Kawan dalam menyelamatkan pantai Gersik Putih.
*advokat