DHARA CAMPOR MARDHA
Sasemba’an dha’ Jeng Ebu Pertiwi
Tareka ka’dinto ebu, medal dhari sokma
Se talempet dhalem nespa tor nyangsara
Aratosan taon
Tareka ebugel, sowara edunggem
Roba ta’ odhar, labang ta’ adhardhar
Naleka Hirozima Nagasaki epajunge kolat mardha
Samoray taselpet, Hinomaru aleppet
Nippon gippon, ta’ kobasa namba’
Mok-amok Sakutu
Pottra nyelpettagi tareka, akerek mera pote
Majunge bume Nusantara
Tareka mardika agarudhu’ magundhek jagat
Raga se kendhur sakojur, odhar
Nyaba se ta’ kababa, abangbang alapes baja
Kacong cebbhing pada asabung, aorak, arakrak
Ta’ marduli dhara se nyapcap
Ta’ marduli mardha se nyapsap
Dhara campor mardha
Agaluy dhalem dhadha
Tojjuwan nonggal
Mardika, jaja, raja
1991
MataMaduraNews.com–SUMENEP-Puisi berbahasa Madura di atas begitu populer pasca diciptakan hingga saat ini. Tak hanya dikutip di buku-buku pelajaran muatan lokal Bahasa Madura di Sumenep khususnya, puisi ini kerap dibacakan di ajang lomba-lomba yang mengusung keMaduraan. Bukan hanya isinya yang menggelora, pilihan kata dan bahasa yang digunakan, jelas tidak setiap orang mampu dengan baik menggoreskannya di atas kertas. Madura memang gudangnya penulis, sastrawan, penyair, dan sejarawan. Namun, hanya sedikit yang menulis puisi dalam bahasa Madura. Kalau tak ingin disebut langka.
Lalu siapa gerangan sang pengarang? Pencipta puisi itu menuliskan nama pena Arach Djamaly. Hingga kini kumpulan puisinya masih tersimpan di tangan keluarga yang ditinggalkannya. Tak salah Hairil Anwar dengan hidup seribu tahunnya: hidup dalam karyanya.
***
Nama Arach Djamaly di era generasi Sumenep kini, mungkin hampir tak dikenal. Berasal dari belahan timur pulau Garam, berkiprah di bidang pelestarian bahasa Madura, sekaligus banyak berkarya (khususnya puisi) berbahasa Madura, tak lantas membuat namanya terpatri di setiap benak orang Madura, atau Sumenep khususnya. Padahal, eksistensi bahasa Madura, pasca pergumulannya dengan banyak era atau jaman beserta pengaruh asingnya, jelas tak lepas dari peran praktisinya.
Arach Djamaly memang bukan satu-satunya praktisi bahasa Madura di Sumenep. Ada banyak tokoh yang lebih senior dari pria kelahiran Sumenep, 15 Februari 1939 ini. Seperti misalnya R. P. Abdussukur Notoasmoro atau Pak Sukur, dan lainnya. Namun ada yang menarik dari sosok bernama asli Abd. Rachem ini. Bersama Pak Sukur, Arach Djamaly merupakan tokoh yang konsisten dengan ejaan awal bahasa Madura yang ditetapkan melalui Sarasehan 1973. Di samping itu juga, ia bisa dikata satu-satunya praktisi bahasa Madura di masanya yang menulis puisi berbahasa Madura.
â€Ayah saya memang bertahan sekaligus mempertahankan ejaan tahun 1973,†kata Arif Setiawan, anak bungsu Arach Djamaly, awal Januari lalu.
Mengenai karya puisi bahasa Madura Arach Djamaly, dikumpulkan dalam sebuah buku yang hingga kini belum dicetak. Karya itu masih tetap bertahan dalam bentuk ketikan manual. Judul buku tersebut, “Rarengganna Tana Kerrengâ€, memuat salah satu karya puisi monumentalnya: Dhara Campor Mardha.
â€Buku kumpulan puisi itu ditulis oleh bapak di tahun 1997,†kata Yeyep, panggilan Arif Setiawan.
Di samping buku kumpulan puisi itu, Arach Djamaly juga menulis kumpulan cerita pendek berbahasa Madura. Nah, untuk buku yang diberi judul Bato Ko’ong itu diterbitkan oleh Tim Nabara (Pembina Bahasa Madura) di Buletin Konkonan. â€Kemudian ada juga novel sejarah Aria Wiraraja berjudul Lalampannepon Dhari Singosari ka Songennep, yang berbahasa Madura dan juga yang alih bahasa Indonesia,†tambah Yeyep.
Tak hanya menulis puisi, cerpen, dan sejarah, menurut cerita Yeyep, Arach Djamaly juga ternyata suka mencipta lagu. Beberapa lirik lagu ciptaannya digarap bersama Barajak Kusuma. â€Setahu saya ada tiga lirik lagu ciptaan bapak. Sedang aransemennya pak Barajak. Seperti lagu Sandu Rennang, Neng-sennengngan, dan Compet Bulan,†ungkap Yeyep.
***
Proses kreatif Arach Djamaly, menurut cerita Yeyep dimulai sejak masa mudanya. Meski tak jelas mulai kapan, namun Yeyep mengaku ayahnya sudah menulis sejak 1960-an. Arach Djamaly berprofesi sebagai guru PNS. Posisi selanjutnya di Kandepdikbud, memang sesuai dengan minat dan bakatnya. Ia lantas juga aktif dan ikut membesarkan Tim Nabara, yang salah satu pendirinya adalah Praktisi Legendaris Bahasa Madura, Pak Sukur Notoasmoro yang disebut di atas. â€Bapak juga sebagai sekretaris Tim Nabara hingga wafatnya,†imbuh Yeyep.
Di masa pensiunnya, Arach Djamaly banyak aktif di berbagai lembaga. Seperti di Pramuka, misalnya. Sehingga menurut Yeyep jika menyebut nama ayahnya pasti juga dikaitkan dengan Pramuka. â€Jadi kalau ada orang bilang Pak Rahem Pramuka, ya itu maksudnya bapak,†ujarnya.
Di samping itu, di masa tuanya, Arach Djamaly juga tercatat sebagai salah satu dosen di STKIP PGRI Sumenep. Ia mengampu materi pengajaran Sastra Madura. Sebuah diktat sempat dicetak sebagai buku pegangan mahasiswa. Diktat yang berasal dari kumpulan tentang sastra dan budaya Madura yang pernah diseminarkan oleh Tim Nabara 1990 silam.
Arach Djamaly lahir di Desa Karangduak (sekarang kelurahan), namun besar di Kecamatan Guluk-Guluk. Ayahnya, Djamaluddin Reksowidjojo merupakan punggawa yang berdinas di sana. Yeyep mengatakan kalau kakeknya itu menjabat sebagai Demung. Ibu Arach Djamaly bernama R. Haera. Isterinya bernama Djoharjati. â€Bapak itu anak ketiga dari 5 bersaudara. Anak-anak bapak juga berjumlah sama,†jelas pria berkacamata tersebut.
Arach Djamaly wafat di Sumenep pada 06 Juni 2006. Lelaki pensiunan Kakandepdikbud Kecamatan Kota Sumenep tahun 1995 itu memiliki pesan singkat bagi anak-anaknya. â€Bapak selalu mengatakan agar kami selalu menjadi andap asor. Tonjolkan diri sebagai orang Sumenep. Karena Madura itu banyak ragam,†tutupnya.
R B M Farhan Muzammily, Mata Madura