CatatanPolitik

Inspiratorku; Indonesia Bukan Amerika

×

Inspiratorku; Indonesia Bukan Amerika

Sebarkan artikel ini
Inspiratorku; Indonesia Bukan Amerika

Oleh: KH A. Busyro Karim*

Sewaktu menjadi Ketua DPRD Sumenep ada seorang teman yang berbicara panjang tentang konsep demokrasi yang diterapkan Amerika. Dia menjelaskan bahwa Amerika sebagai contoh negara yang sukses menerapkan nilai-nilai demokrasi. Dia menyebut ketegangan antara agama dan negara tidak lagi menjadi perbincangan yang seksi dalam ranah negara Amerika.

Ulasannya menyiratkan ia terpukau oleh sistem demokrasi Amerika. Entah karena apa dia harus berkiblat ke Amerika dalam berdemokrasi.

Memang tidak sedikit para intelektual Indonesia mudah terpukau pada kehidupan dunia barat. Mereka begitu mudah mengibaratkan kota-kota di negara barat lebih Islami dari negara-negara Islam. Sehingga menjadikan negara-negara barat sebagai sumber inspirasi pemikirannya.

Namun pertanyaannya, apakah benar Amerika dan negara-negara Eropa seperti gambaran mereka?
Saya teringat ketika menjadi duta pendidikan di Harvard Kennedy School, Amerika Serikat, 2012 lalu. Sistem demokrasi Amerika bisa jadi lebih mapan dari Indonesia. Namun, keadilan dan ketimpangan sosial Amerika juga menjadi permasalahan yang amat serius.

Dari awal berdiri, bisa dikata Amerika sebagai negara yang tidak pernah serius mengurus hal-hal berbau ideologis. Para The Founding Fathers Amerika seperti George Wythe, Patrick Henry, Benjamin Franklin, ataupun Thomas Jefferson mewarnai ideologi liberalisme. Sebuah pemikiran yang menolak pembatasan antara pemerintah (negara) dan agama.

Maklum, negara Amerika Serikat dibentuk oleh kaum urban. Sebuah kaum yang identik dengan persoalan bagaimana bisa bertahan hidup. Kehidupan yang berbau pragmatisme.

Mari lihat filsafat pragmatisme yang didengungkan dua tokoh utama Amerika: William James dan John Dewey. Kedua tokoh itu memberi konklusi semangat pragmatisme yang menyebabkan negara Amerika survive. Dua tokoh itu menilai masyarakat Amerika berhasil menciptakan progresi yang luar biasa akibat semangat pragmatisme yang mengabaikan nilai-nilai agama dan ideologi.

Gerakan pragmatisme di atas diperkuat dengan tesa seorang intelektual Amerika berdarah Jepang, Francis Fukuyama. Dia menyebut era pasca ideologi yang akan mengubur makna ideologi bagi masyarakat dunia. Fukuyama meramal dalam sejarah negara bangsa ke depan tidak akan ada lagi pertentangan ideologi-ideologi besar.

Sayangnya Indonesia bukanlah Amerika. Jangan sekali-kali berkata bahwa agama tak lagi bermakna bagi masyarakat Indonesia. Agama, bagi orang Indonesia menjadi sesuatu yang teramat sakral. Semangat religius orang-orang Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Kesalehan menjalankan aktivitas keagamaan memenuhi ruang-ruang kehidupan.

Semangat menjalankan aktivitas keagamaan bukan melulu dilakukan orang-orang desa. Masyarakat perkotaan sudah sejak lama demam melakukan ritual keagamaan. Tidak heran, Julia Day Howell (2003), menyebut istilah urban sufism atau sufi perkotaan telah lama menjangkit masyarakat perkotaan Indonesia. Dalam kajian antropologinya, profesor dari Universitas Griffith, Australia ini, menilai gerakan spiritual yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia menjadi kebangkitan Islam Indonesia.

Di balik kenyamanan fenomena keagamaan itu, kita dihadapkan nada getir bahwa agama tidak jarang menjadi alasan munculnya pertentangan-pertentangan yang mengarah pada konflik.

Terbaru perbedaan dalam penafsiran surat al-Maidah ayat 51. Keutuhan NKRI sedang dipertaruhkan dengan adanya gelombang protes atas pernyataan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Dari sini kita butuh pemikiran bapak bangsa. Berpikir selamatkan NKRI. Waspada disintegrasi bangsa Indonesia.

BERSAMBUNG…….

*Bupati Sumenep dan Pengasuh Ponpes Alkarimiyyah, Gapura

KPU Bangkalan