Budaya

Kiai Abu Syamsuddin (Buju’ Latthong), Batuampar, Pamekasan; Menutupi Kewalian Dengan Kotoran Sapi

×

Kiai Abu Syamsuddin (Buju’ Latthong), Batuampar, Pamekasan; Menutupi Kewalian Dengan Kotoran Sapi

Sebarkan artikel ini

Nama Kiai Syamsuddin alias Buju’ Latthong di Madura, khususnya Pamekasan, sangatlah populer. Berbagai kisah karomah dan keshalihan awliya Allah di bumi Gerbang Salam itu terus mengalir dalam sungai ingatan generasi setelahnya.

Kiai Abu Syamsuddin Menutupi Kewalian Dengan Kotoran Sapi
Pasarean Buju' Latthong di Batuampar, Pamekasan. (Foto/Johar Mata Madura)

MataMaduraNews.Com-PAMEKASAN-Madura memiliki dua wilayah bernama Batu Ampar. Yang satu terletak di kabupaten Sumenep, dan satunya lagi di wilayah kabupaten Pamekasan. Untuk membedakannya, lokasi pertama dikenal dengan Batu Ampar Timur—merujuk pada posisi Sumenep sebagai kabupaten paling timur di nusa garam, dan yang kedua populer dengan sebutan Batu Ampar Barat.

Masing-masing wilayah itu dahulu merupakan daerah keramat. Kekeramatan itu tak lepas dari keberadaan para sosok yang merupakan shohibul wilayah. Di Batu Ampar Timur, nama Kiai Abdullah alias Bindara Bungso begitu melegenda. Beliau merupakan cikal-bakal dari dinasti terakhir Keraton Sumenep yang dikenal dengan para rajanya yang alim dan berpangkat ‘arifbillah. Begitu juga di Batu Ampar Barat, nama Kiai Abu Syamsuddin alias Buju’ Latthong tak kalah melegenda. Sosok sentral di rubrik Jejak Ulama edisi kali ini.

ASAL-USUL

Dalam buku Manaqib Buju’ Batu Ampar yang bersumber pada Kiai Haji Jakfar Shodiq Fauzi, Kiai Abu Syamsuddin adalah putra Kiai Abdurrahman atau Batsaniah alias Buju’ Tompeng, Batu Ampar dengan Nyai Basyiroh. Nama Abu Syamsuddin merupakan kunyah. Maknanya, ayah dari Syamsuddin. Syamsuddin ini adalah putra sulung Buju’ Latthong. Sedangkan nama kecil Buju’ Latthong ialah Kiai Su’adi.




Buju’ Tompeng, ayah dari Kiai Su’adi atau Abu Syamsuddin ini merupakan salah satu waliyullah besar Madura di masanya. Di buku manaqib tersebut tertera nasab Buju’ Tompeng, yaitu Buju’ Tompeng bin Kiai Abdul Manan (Buju’ Kosambi) bin Syarif Husain (Buju’ Banyu Sangka) bin Sunan Bonang bin Sunan Ampel.

Kiai Abdul Manan alias Buju’ Kosambi ini yang pertama kali bermukim di Batu Ampar, Pamekasan. Disebut Buju’ Kosambi karena beliau bertirakat di pohon kosambi (kesambi) selama empat puluh tahun. Pohon kesambi tempat tirakat beliau itu terletak di atas bukit yang dikelilingi pohon bambu. Di dekat pohon tersebut ada sebuah sumur yang disebut sumur Todhungi. Sumur inilah yang menjadi  tempat  keperluan beliau untuk minum dan wudlu.

Todhungi ini berasal dari kata ekodhungi yang berarti ditutupi. Konon, sumur tersebut tertutup oleh batu yang dengan ijin Allah SWT, melalui karomah  Kiai Abdul Mannan (Syekh Abdul Mannan). Tutup sumur tersebut bisa terbuka dengan sendirinya manakala diperlukan beliau.

KAROMAH

Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya. Jika ayah dan kakeknya adalah ahli tirakat untuk membangun keshalihan, begitu pula dengan Kiai Su’adi Abu Syamsuddin. Pada usia remaja, beliau berangkat ke bukit Banyu Pelle untuk melakukan tirakat.

Saat sampai di bukit Banyu Pelle, Kiai Su’adi mengalami kesulitan air wudlu. Kemudian beliau turun menuju sebuah sungai bernama Aeng Nyono’.  Saat sampai di sungai, beliau menancapkan tongkatnya di sungai itu sembari berkata: “wahai air, ikutlah denganku ke atas untuk membantuku dalam uzlahku”.

Subhanallah, atas ijinNya, air sungai Aeng Nyono’ itu pun mengikuti tongkat Kiai Su’adi naik ke atas puncak bukit Banyu Pelle. Sampai saat ini, keajaiban air yang mengalir dari sungai di kaki Bukit Banyu Pelle ke atas bukit tetap ada. Namun, pada musim hujan, aliran air dari bawah ke atas bukit ditutup oleh penduduk. Karena jika tidak, akan terjadi banjir. Jika pada musim kemarau, air tidak mengalir, dengan ritual khatmil qur’an,  in sya Allah, biasanya air mengalir lagi ke atas. Tanpa dorongan alat apapun.

Setelah empat puluh tahun melakukan uzlah  di bukit Petapan atau bukit Banyu Pelle, Kiai Su’adi Abu Syamsuddin turun. Menurut salah satu riwayat sesepuh Batu Ampar, pada waktu turun, terlihat lafadz jalalah (Allah) di dadanya. Bersinar dengan cahaya yang sangat menyilaukan.

<!––nextpage––>

Menurut riwayat yang sama, pernah seorang bertemu Kiai Su’adi dan melihat lafadz jalalah di dadanya. Karena  mengalami rasa silau yang luar biasa, orang tersebut tidak tahan dan akhirnya meninggal.

Atas kejadian tersebut, Sang Wali gundah. Agar tak ada korban lagi yang jatuh, beliau memutuskan menghindar dari pandangan orang lain. Setelah memohon petunjuk kepada Allah, Kiai Su’adi mendapatkan ilham agar menutupi sinar tersebut dengan calatthong (kotoran sapi). Itulah sebab beliau dijuluki Buju’ Latthong.

Sebenarnya masih banyak karomah yang diceritakan dalam buku Manaqib Buju’ Batuampar tersebut. Namun karena ruang yang terbatas, kisah-kisah tersebut tak bisa sepenuhnya dituang di rubrik ini. Namun ada satu hal kisah menarik yang dirasa perlu diangkat, karena beberapa alasan. Kisah itu tentang pertemuan Buju’ Latthong dengan raja atau penguasa Pamekasan di masa itu. Di buku tersebut ditulis di masa Raja Ronggosukowati.

Kisah terkenal yang isinya tentang Raja Pamekasan yang ingin menguji kewalian Buju’ Latthong itu begitu populer di Batu Ampar. Pasalnya, kala itu, Sang Nata tanpa sepegetahuan Buju’ Latthong dan para undangan di keraton waktu itu, menyuguhkan masakan dari daging anjing. Sontak acara tersebut heboh. Pasalnya, begitu hendak disantap, makanan itu tiba-tiba berubah menjadi anjing hidup kembali.

Tanpa mengurangi kebesaran nama Buju’ Latthong, mungkin penyebutan nama Ronggosukowati (Panembahan Pamekasan yang memerintah 1530 – 1616 Masehi) sepertinya kurang tepat. Kemungkinan besar peristiwa itu terjadi di masa penguasa Pamekasan jauh setelah Panembahan Ronggosukowati. Alasan lain, di buku tersebut disebutkan jika salah satu santri dari Kiai Husain, putra dan pengganti Buju’ Latthong, ada yang bernama Buju’ Gemma atau Kiai Gemma, Prenduan. Kiai Gemma ini merupakan saudagar alim di Prenduan, Sumenep. Kisah hidupnya dikutip dalam banyak riwayat tentang Ponpes al-Amien Prenduan. Kiai Gemma juga sejaman dengan Kiai Muhammad Syarqowi, pendiri Ponpes Annuqayah Guluk-guluk, Sumenep, di tahun 1880-an Masehi. Bekas isteri Kiai Gemma bahkan dinikahi Kiai Syarqawi.

Bahkan, di buku itu juga ditegaskan bahwa putra Kiai Husain bin Kiai Abu Syamsuddin Buju’ Latthong yang bernama Kiai Romli, nyantri pada Syaikhona Kholil Bangkalan yang hidup di pertengahan kurun 1800-an hingga dasawarsa ketiga kurun 1900-an.

R B M Farhan Muzammily

KPU Bangkalan

Respon (3)

  1. Assalamu’alaikum,. Saya Alutvi ingin bertanya tentang beliau
    apakah sana’ family dari beliau (cucu, cicitnya) ada yang di jember jawatimur khususnya sumber bringin?

Komentar ditutup.