matamaduranews.com-Di kalangan Kristolog, nama Kiai Bahaudin Mudhary tidak lagi asing.
Karyanya yang bertajuk “Dialog Masalah Ketuhanan Yesus” yang terbit pertama kali pada tahun 1971, telah dicetak dalam berbagai versi bahasa; Arab, Belanda dan Inggris.
Buku tersebut telah menjadi karya klasik yang tetap laris manis di pasaran.
Bila orang menilai bahwa Kiai Bahaudin adalah seorang Kristolog, itu tidak salah, meski tidak sepenuhnya benar.
Kristolog adalah satu dari sekian banyak keahlian yang dimiliki oleh Kiai Modern asal Sumenep.
Sebab, Kiai Bahaudin Mudhary pada hakekatnya adalah seorang yang menguasai multidisiplin ilmu.
Kiai Baha’ (panggilan akrabnya), menguasai banyak bahasa asing dan paham betul tentang perbandingan agama.
Selain itu, beliau juga seorang pakar metafisika; baik teori maupun praktek.
Maka tidaklah berlebihan bila Kiai Bahaudin Mudhary, juga dikenal sebagai “cendekiawan langka” yang pernah dimiliki oleh negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini.
Kiai Bahaudin Mudhary lahir di Sumenep, 23 April 1920 dan wafat di Surabaya, 4 Desember 1979.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari tokoh fenomenal Kiai Baha’.
Tubuhnya ringkih, suaranya lirih dan lembut, tetapi kata-katanya berpengaruh, ucapannya didengar dan nasehatnya dihormati meski jasadnya sudah tidak ada lagi.
Dari berbagai buku yang beliau tulis, ia mengajarkan kepada kita tentang peran jiwa. Ibarat mobil, jiwa itu adalah sopirnya.
Jika jiwa kita sakit, maka tubuh yang kuat sekali pun tak dapat memberikan manfaat bagi hidup kita.
Sebaliknya, tubuh yang kuat tidak dengan sendirinya menyebabkan jiwa kita sehat dan kuat.
Bukankah banyak penjahat dan penipu yang badannya tegap, suaranya mantap dan bicaranya memikat?
Tubuh mereka sehat, tetapi jiwa mereka ringkih dan sakit.
Di balik ringkihnya tubuh Kiai Baha’, ternyata Allah Ta’ala memberikan kekuatan yang sangat besar dalam upayanya menata aqidah umat.
Banyak orang terinspirasi setelah mendengar ceramahnya. Bukan karena gaya bicaranya yang memukau. Bukan! Ia bukan seorang orator. Ia juga bukan murid Zawawi Imron yang secara khusus belajar olah vocal.
Tetapi…
Ada Tetapinya Boz…
Kata-katanya berpengaruh karena “kekuatan jiwa” yang menuturkannya.
Isinya padat, penyampaiannya lugas, gaya bicaranya datar, dan tidak menggunakan trik-trik komunikasi publik yang memukau.
Tetapi Allah Ta’ala jadikan pembicaraannya sebagai wasilah (perantara) turunnya hidayah kepada manusia.
Allah Ta’ala karuniakan kepadanya kekuatan bicara yang berbobot dan menggetarkan.
Bercermin pada kisah Kiai Bahaudin Mudhary, kita belajar bahwa, kecerdasan saja tidak cukup, meskipun ia bernama kejeniusan. Kesempurnaan fisik saja tidak cukup, meskipun ia memiliki kemampuan melihat yang ketajamannya melebihi orang lain.
Betapa banyak orang yang memiliki bakat berlimpah dan kemampuan yang menakjubkan, tetapi mereka gagal mengelola dirinya.
Sebaliknya, kita telah belajar dari sejarah masa lalu atau yang masih berlangsung hingga hari ini, betapa banyak orang yang memiliki setumpuk kekurangan dan bahkan hampir-hampir tak ada kelebihannya sama sekali, tetapi mereka mampu mengukir kebaikan di atas lembar sejarah hidupnya karena *jelasnya tujuan hidup*, kuatnya tekad, dan besarnya daya tahan untuk menghadapi berbagai kesulitan.
Mereka berhasil melakukan hal-hal besar bukan karena memiliki kemampuan yang sangat besar. Bukan! Tetapi karena besarnya penghargaan mereka terhadap hidup sehingga menjaganya dengan sangat hati-hati agar dapat mempertanggung-jawabkan di hadapan Allah Ta’ala, kelak setelah Hari Kiamat tiba.
Mereka menjaga nilai hidupnya dengan melakukan hal-hal yang memberi manfaat dan bersungguh-sungguh.
Dalam bukunya yang bertajuk “Setetes Rahasia Alam Tuhan” dalam tinjauan metafisika, Kiai Bahaudin menulis;
“Semua daya pikiran yang mengarah ke dunia luar itu apabila berada dalam badan BUDI, ia dinamakan sedang melakukan tafakkur (meditasi/kontemplasi)”
Dalam keadaan bertafakkur inilah, nafsu-nafsu jahat dapat dibersihkan dan kemudian diubah menjadi suatu “Ma’rifat” (kegiatan kontemplasi).
Saat berlangsungnya keadaan Ma’rifat inilah daya-daya *BUDI* dapat menerima dan menyerap *”Sinar Allah”* sehingga titik hidup yang lahir dapat dipindahkan ke titik hidup yang batin, sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah Saw, ketika akan menjalani Mi’raj.
Dengan demikian, kekuatan pandangan rohaniah Beliau Saw, menjadi lebih tajam secara luar biasa.
Persiapan seperti ini sangat vital karena Beliau akan menemui makhluk-makhluk rohaniah (halus) di alam angkasa luar yang sangat berbahaya.
Kunci pokok dari semua itu adalah iman. Keyakinan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, merupakan salah satu aspek yang berpengaruh besar terhadap kualitas pribadi seseorang.
Perpaduan berbagai kualitas pribadi menjadikan seseorang sebagai sosok yang unik, berbeda dengan orang-orang lain.
Inilah yang kemudian dalam psikologi disebut sebagai karakter.
Kadi, karakter bukanlah serangkaian perilaku dan kebiasaan yang baik.
Karakter merupakan serangkaian kualitas pribadi yang menjadikan diri kita sebagai manusia yang unik.
Dan inilah kekuatan besar yang harus kita bangun dalam diri kita.
Kita menemukan apa yang sungguh-sungguh penting, menginspirasikannya dan membangunnya hingga kokoh. Bukan mengajarkannya sebagai pengetahuan.
Wallahu A’lam…
Selamat Jalan Sang Maestro. Terimakasih Ilmunya
*Disajikan Untuk Mengenang 43 Tahun Wafatnya Kiai Langka; Bahaudin Mudhary
Perum Satelit,
Ahad, 11/12/2022