BEBERAPA hari terakhir. Para aktivis masih membincangkan peta politik Sumenep di Pilkada 2024. Termasuk kekuatan politik Achmad Fauzi yang kini menjabat Bupati Sumenep hasil Pilkada 2020.
Saya sebenarnya bersikap pasif. Sekedar mendengarkan apa yang menjadi materi perbincangan para aktivis dan politisi.
Maklum, anda kan ngerti. Saya bisanya mencatat apa yang saya dengar. Menyalin apa yang saya lihat.
Khusus informasi peta politik Achmad Fauzi bersumber dari perbincangan aktivis, pengamat dan politisi. Bukan konsultan resmi. Bisa konsultan, tapi tak terverifikasi.
Ilegal dong, begitu kira-kira kata kaum formalis.
Meski informasi dari aktivis, begitu sederhananya. Tapi objeknya politik. Juga tak bisa pasti. Kesimpulannya sementara.
So, jangan ambil hati. Just informasi. Begitu kata kura-kura dalam perahu.
Lazimnya dunia politik itu dinamis. Tak statis. Dalam bahasa anatomi politik itu bagian dari diskursus (wacana).
Meminjam bahasa Michel Foucault, diskursus merupakan gambaran kehidupan manusia.
“Dulu orang gila tak berbahaya karena diyakini memiliki ilmu hikmah. Tapi di era modern orang gila diperlakukan sebagai orang sakit yang butuh perawatan agar dapat pulih,” begitu gambaran kecil diskursus versi Foucault.
Namun politik Indonesia mengadopsi politik Jawa. Sumenep sejak lama. Sejak sistem kerajaan. Sumenep mengekor ke jawa. Baik itu peradabannya maupun hirarki kekuasaannya.
Politik Jawa identik dengan politik wayang. Yang tanpa sadar menjadi peran utama dalam membentuk budaya masyarakat Jawa.
Anda kan ngerti makna wayang.
Wayang adalah bayangan. Pertunjukan wayang itu merupakan bayangan atau refleksi kehidupan yang terjadi.
Begitu kata orang Jawa memahami filosofi wayang.
Bagi penggemar berat wayang. Kalau menonton pertunjukan itu dari balik layar agar benar-benar menyaksikan wayang atau bayangan yang sesungguhnya.
Dan setiap pertunjukan wayang pasti ada pertarungan. Itu sebagai gambaran pertarungan kebaikan dan keburukan. Pergulatan kiri dan kanan, antara yang haq dan bathil.
Pertarungan abadi itu terlihat antara Kurawa melawan Pandawa yang penuh intrik dan tipu muslihat.
Dalam babad Sumenep diceritakan, sejak Sultan Abdurrahman berkuasa di Sumenep cara mempertahankan kekuasaan dan memperluas kekuasaan tak lagi menggunakan peperangan.
Sultan Abdurrahman memilih komunikasi adaptif. Toleran. Inklusifitas. Mengedepankan kemaslahatan rakyat daripada menimbulkan kemudharatan dalam berpolitik kekuasaan.
Kembali kepada Menakar Politik Bupati Fauzi, tulisan ini berawal dari respon pembaca dari tulisan sebelumnya: Lawan Fauzi Hanya PKB.
Tak sedikit yang merespon. Pastinya aneka ragam isi respon itu. Juga diskusi-diskusi dari warung ke warung. Cafe ke cafe.
Diskursus, kata Michel Foucault.
Salah satu respon pembaca, bilang begini: “Marengis. Potensi kekuatan tunggal bisa kejadian,” tulis Bindara Anwar merespon tulisan Lawan Fauzi Hanya PKB via WhatsApp, beberapa hari lalu.
Bindara Anwar mantan caleg PKB Sumenep. Dia mantan aktivis Jogjakarta.
Sebelum nyaleg di Sumenep. Bindara Anwar lama di Ibu Kota Jakarta. Berkumpul dengan senior senior politisi dan aktivis NU di Jakarta.
Bindara Anwar tak bisa memberi pandangan lebih jauh soal politik Fauzi. Dia lagi di Jakarta untuk ngawal Ketum PKB, Muhaimin Iskandar jadi Cawapres Prabowo.
“Sekarang saya di Jakarta lagi ngawal ketum,” jawabnya Jumat malam saat ditanya posisi.
Dari beberapa pandangan aktivis, pengamat dan politisi Sumenep. Untuk Menakar Politik Bupati Fauzi bisa dilihat dari dua faktor.
Dua faktor ini bisa menjadi kunci menuju kekuatan politik absolut, katanya.
Pertama, dukungan ulama sebagai arus utama kultur NU kepada Fauzi. Kedua, melemahnya konsolidasi anak muda NU.
Mereka tak melihat ada gerakan konsolidasi anak muda NU Sumenep untuk melawan kekuatan Fauzi. Yang terjadi sebaliknya, kata mereka dari dikusi-diskusi di cafe.
Soal dukungan sejumlah ulama NU kepada Fauzi? Mereka menilai masih menilai syubhat. Dalam arti dukungan yang terlihat bersifat normatif. Formalis.
Mereka para aktivis, pengamat dan politisi punya landasan soal pola dukungan politik itu bagian dari identitas politik ulama NU sejak NU menjadi Parpol. Lalu berfusi ke PPP dan NU mendirikan PKB sebagai saluran politik warga NU.
Kenapa demikian? Eko-mantan aktivis NU mengutip pandangan Greg Fealy, pengamat politik NU dari ANU (Australia National University).
Disertasi Fealy yang diterjemahkan ke Indonesia, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967, terbitan LKiS.
Dalam buku itu, kata Eko- Greg Fealy mengakui politik ulama NU mengedepankan jalan tengah. Jalan yang selalu mengacu pada kemaslahatan dan menjauhi mafsadah (kerugian-kerusakan).
“Wajar jika ada yang menilai politik ulama NU abu-abu (syubhat). Tak jelas. Itu kan karena mereka tak mengerti saja apa yang menjadi orientasi para ulama NU dalam berpolitik,” terang Eko dalam memberi argumen.
Para ulama NU, lanjutnya: sejak awal konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan. Karena itu, para ulama NU selalu bersikap hati-hati, luwes, dan memilih jalan tengah. Tidak ke kiri dan tidak ke kanan.
“Makanya, memahami politik NU di Sumenep kurang lebih begitu adanya sebagai identitas politik NU,” kata Eko menambahkan.
Imam Syafii-mantan Ketum PC PMII Sumenep punya kesimpulan apabila kekuatan politik Fauzi bisa absolut. Solusinya Fauzi bisa mengirinhi gerak langkah anak muda NU dan politik NU.
Bahkan Imam menawarkan opsi pasangan: “Lebih aman, Pak Fauzi menggandeng wakil representasi dari PKB dan PPP. Jika ulama PKB dan NU bergabung bersama Pak Fauzi, Saya jamin. Pilkada 2024 selesai,” terang Imam.
Hairil Anwar menyanggah pendapat Imam. Anwar menilai opsi Imam masih berpikir politik identitas.
Meski jika bicara politik NU ya representasi PKB atau PPP.
Lagi-lagi Imam menyela:
“Sumenep masih kandang NU. Pak Fauzi yang kader PDIP menjadi Bupati Sumenep tak lepas dari peran politik NU,” jawab Imam tegas.
Kendati berbagai dalil dilontarkan Imam. Anwar belum serujuk. Dia menyebut politik identitas di Sumenep sudah banyak tereduksi setiap event pemilihan politik langsung. (hambalirasidi)
Bersambung…
Tulisan bersambung, Senin