Hankam

Profil Mayor R. A. Mangkuadiningrat, dan Perannya di Resimen 35 Joko Tole Madura Saat Terjadi Clash 1947

×

Profil Mayor R. A. Mangkuadiningrat, dan Perannya di Resimen 35 Joko Tole Madura Saat Terjadi Clash 1947

Sebarkan artikel ini
Profil Mayor R. A. Mangkuadiningrat, dan Perannya di Resimen 35 Joko Tole Madura Saat Terjadi Clash 1947
Mayor R. A. Mangkuadiningrat saat aktif di militer. (Foto/doc. keluarga)

matamaduranews.comSUMENEP-Nama Mayor Raden Ario Mangkuadiningrat di Sumenep, di era Orde Lama bisa dikata cukup populer.

Bagi kalangan masyarakat Madura, khususnya Sumenep, Ja Mangko—panggilan beliau, merupakan salah satu tokoh yang cukup berperan dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan RI yang waktu itu masih berupa “bayi” kemerdekaan.

Ya, meski sudah mengumandangkan teks proklamasi yang menunjukkan pada dunia bahwa ada Negara baru yang bardaulat bernama Indonesia, tidak lantas menjadikan negeri ini bisa menjalankan roda pemerintahan secara efektif.

Rongrongan bangsa Belanda yang tidak terima jika Indonesia berdaulat sendiri terus menerus datang dalam bentuk upaya penjajahan jilid selanjutnya.

Madura yang waktu itu sudah mulai menata kedaaan di dalamnya juga tidak bisa lepas dari kedatangan bangsa asing yang seakaan tidak puas menjajah selama tiga abad lebih.

Barisan-barisan militer yang baru terbentuk, dan jaringan pejuang yang dikenal dengan barisan Sabilillah dan berbasis kalangan pesantren bahu membahu mengusir Belanda untuk kedua kalinya.

Nah, ketika clash kembali terjadi, yakni di tahun 1946-1947, Mayor Mangkuadiningrat merupakan salah satu tokoh yang berada di balik perjuangan tersebut.

Posisinya di militer kala itu dan latar belakangnya sebagai anggota kalangan bangsawan di Sumenep membuat pengaruhnya di kalangan pejuang kita lumayan besar.

Tak sedikit buah pikiran dan tindakannya yang dibutuhkan di saat-saat genting waktu itu.

Asal Usul Dan Riwayat Singkat Hingga Masuk Militer

R. B. Ahmad Murtadla atau yang selanjutnya berubah menjadi Raden Ario Mangkuadiningrat lahir di Sumenep pada tahun 1904 Masehi. Ayahnya bernama Raden Ario Mangkuamijoyo (Amir), dan ibunya bernama Raden Ajeng Zamzamiyah.

Secara nasab, dari pihak laki-laki (pancer) ayahnya berasal dari keluarga bangsawan Pamekasan yang bersusur galur ke keluarga Cakraningrat Bangkalan.

Kakek dari pihak ayahnya adalah mantan Bupati Pamekasan yang mengundurkan diri, yaitu Pangeran Adipati Suryokusumo (Raden Banjir).

Hubungan dengan Keraton Sumenep didapat dari pihak ibu Pangeran Adipati Suryokusumo, yaitu Raden Ajeng Afifah atau Ratu Pamekasan, putri sulung Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat.

Sedangkan ibu dari Raden Ario Mangkuadiningrat, Raden Ajeng Zamzamiyah adalah keturunan langsung dari Kangjeng Kiai Adipati Ario Suroadimenggolo ke-V, Kepala Adipati atau hoofd regent di Semarang yang diasingkan hingga ke Sumenep, karena antipatinya terhadap Belanda.

Ja Mangko atau Pak Mangku (panggilan akrabnya di kalangan militer) merupakan anak pertama dari 7 bersaudara. Selepas menjalani pendidikan umum di masa kecilnya, Pak Mangku mengikuti pendidikan militer di Malang.

“Mengenai riwayat pendidikan bapak itu catatan tertulisnya sebenarnya dulu ada. bapak sendiri yang menulisnya, namun ada yang pinjam dari pihak angkatan perang RI yang ingin mendokumentasikan. Dan sampai sekarang tak kembali,” kata R. P. Mohammad Mangkuadiningrat, salah satu anak Pak Mangku pada matamaduranews.com.

Selepas pendidikan, Pak Mangku bergabung di kemiliteran hingga Indonesia lepas dari Belanda dan Jepang dengan adanya proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Pak Mangku selanjutnya ditempatkan di Resimen 35 Jokotole Madura yang waktu itu berkedudukan di Pamekasan.

“Jabatan Bapak waktu itu Kepala Staf Resimen dengan pangkat Mayor. Sedangkan komandan resimennya ialah pak Letnan Kolonel R Candra Hasan,” kata Mohammad Mangku.

Namun saat terjadi clash dengan Belanda tahun 1947, Candra Hasan bertolak ke Jogjakarta (ibukota Negara waktu itu) untuk meminta bantuan peralatan senjata dan amunisi. Sebagai komandan sementara ditunjuklah Pak Mangku, hingga Letkol Candra kembali.

Berkali-Kali Lolos Dari Maut

Tahun 1947 sejatinya adalah titik awal kiprah Pak Mangku dalam militer. Karena di saat itulah sepak terjangnya dalam perang terbuka atau kontak fisik langsung dengan penjajah dirasakannya.

Kala itu, pertama kali dimulai dari peristiwa Bangkalan, saat Belanda dengan membonceng Inggris mendarat di Madura. Dalam peristiwa itu, gugur sebagai syahid Letnan R. Mohammad Ramli di Kamal.

Pak Mangku selaku salah satu senior segera menarik anak buahnya mundur menyusuri pesisir utara hingga berhasil kembali ke markas Resimen di Pamekasan. Belanda terus menyusul sehingga kontak fisik terjadi lagi di Pamekasan hingga dua kali.

Peristiwa itu mengakibatkan gugurnya banyak personel resimen, salah satunya Kapten Tesna.

Akhirnya Pak Mangku memerintahkan anak buahnya mundur ke Timur. Dalam perjalanan mundur beliau berkali-kali hampir terbunuh. Hingga akhirnya persembunyiannya di desa Karduluk diketahui. Saat itu beliau hanya ditemani ajudannya, Salam.

Belanda kemudian meminta salah satu keluarga Pak Mangku untuk membujuknya menyerah, namun ditolaknya. Akhirnya kontak fisik terjadi di Karduluk. Pak Mangku berhasil lolos dan terus kea rah utara.

”Bapak turun ke utara. Namun akhirnya tertangkap di kampung Leke Dalem, desa Bilapora. Selanjutnya beliau ditawan di Tangsi (saat ini kodim), selama beberapa bulan. Dan tepatnya bulan Maret 1948 beliau dibawa ke Pamekasan dan di sana dilepaskan dengan syarat tak boleh mengangkat senjata lagi,” cerita Mohammad.

Setelah itu terjadi perundingan di Pamekasan.

Dari Pihak Belanda diwakili Mayor D. Swemel dan di pihak Indonesia diwakili oleh Mayor Mangkuadiningrat. Hasilnya pihak Belanda bersedia keluar dari Madura, dengan ditandai dengan dinaikkannya Bendera Merah Putih di Karesidenan Madura.

Wafat

Tahun 1950 merupakan tahun terakhir Pak Mangku di militer. Beliau mengundurkan diri dengan alasan Indonesia sudah aman dari perang.

Beliau banyak menyibukkan diri dengan aktivitas niaga, dan juga mengurus organisasi perkumpulan famili keluarga bangsawan di Sumenep. Beliau wafat tanggal 25 januari 1980 dengan meninggalkan seorang isteri dan 9 putra putri.

Jenazahnya di makamkan di pemakaman Asta Tinggi Sumenep.

R B M Farhan Muzammily, Mata Madura

KPU Bangkalan
Tanah Kas Desa
Hankam

matamaduranews.com-WINANTO bertanya lokasi TKD ber-Letter C yang ramai…