Opini

Regulasi Pemerintah dan Budaya ‘Anti Corona’

×

Regulasi Pemerintah dan Budaya ‘Anti Corona’

Sebarkan artikel ini
PPKM Darurat Corona
PPKM Darurat Corona di Sumenep. (Foto IST/Rafiqi/Mata Madura)

Oleh: A. Fahrur Rozi*)

Sejak ditetapkanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh Pemprov Jawa Timur pada awal tahun 2021, Kabupaten Sumenep yang menjadi daerah pengecualian dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan pada waktu itu, akhirnya di awal bulan Juli ini juga melaksanakan PPKM Darurat sesuai edaran regulasi Imendagri No. 15 dan Skep Bupati No. 314 tahun 2021.

Para eksekutor kebijakan di lapangan segera menindaklanjuti regulasi Pemda tersebut dengan langkah. Pertama, adanya pos sekat bepergian masyarakat di berbagai persimpangan yang ada di Sumenep. Sebelum PPKM darurat ditetapkan, warga Sumenep yang ingin bepergian keluar kota harus memiliki Surat Izin Keluar Masuk (SIMK). Secara prosedural, warga bersangkutan harus melakukan swab antigen dengan ketentuan; apabila hasil antigen positif akan diisolasi, apabila negatif maka akan divaksin untuk kemudian mendapatkan SIMK itu. Pun dengan ketentuan di pos jaga simpang. Segera saja kebijakan itu mengundang kontroversi. Masyarakat yang notabane ‘anti vaksin’ karena kasak-kusuk isu vaksin dianggap alat konspirasi politik dalam meraup keuntungan, menjadi alasan tersendiri masyarakat menjaga jarak dengan suntikan yang diiming-imingi mengkebalkan tubuh itu.

Kedua, membatasi pelaksanaan hajatan masyarakat sebagaimana Surat Edaran Bupati No. 050/78/435.205/2021. Status daerah penyebaran Covid-19 menjadi klasifikasi persenan dari pelaksanaan dalam tenggat waktu tertentu. Sebelum itu, pihak tuan rumah harus memenuhi persyaratan administratif yang telah ditentukan. Reaksinya di lapangan, masyarakat sama sekali tidak mengindahkan. Musiman Tandha’ yang sedang maraknya di daerah Talango (salah satu kecamatan di Sumenep) tidak menunjukkan sahutan positif sama sekali. Budaya musiman nemor semakin manjadi-jadi dan menggila. Akhirnya, hajatan pun berakhir tragis dengan tindakan pembubaran oleh aparat kepolisian setempat.

Hanya satu mungkin intruksi Pemda yang menuai respon baik dari masyarakat, yakni Surat Edaran No. 451/187/435.012/2021 tentang imbauan adanya gerakan batin untuk kesembuhan bersama dari wabah penyakit. Hal itu terbukti dengan maraknya pembacaan shalawat Burdah keliling dengan beramai-ramai membawa ompor di berbagai daerah di Kecamatan Talango, Senin (5/7/2021). Setidaknya, imbauan itu sukses menyentuh dan mengajak masyarakat merenung sejenak bahwa bumi dan kesehatannya sedang tidak baik-baik saja.

Dari fenomena dialektis di atas, kita dapat membaca arus ‘regulasi kebajikan salah sasaran’. Mengingat masyarakat masih dan akan terus bergelut dengan pengalaman spritual-rohanistik. Tentu regulasi kebajikan yang dianggap melawan arus spritualitas dan kebudayaan akan mati kutu di hadapan masyarakat. Di sini kita dapat membaca keberadaan para sentralis keumatan, seperti Bindara dan guru ngaji, menduduki staratifikasi sosial yang tinggi dalam tatanan masyarakat. Mereka secara naluriah memiliki legitimasi figur hidup yang ditaklid oleh masyarakat setempat. Mereka perlu dijadikan objektivitas sosialisasi dari berbagai regulasi yang telah dicanangkan sebelumnya. Jelas jika mereka dapat diarahkan berkesepemahaman dengan para aparatur pemerintah, masyarakat dengan sendirinya memahami dan mematuhi aturan yang ada. Apalagi dalam misi pembangunan Bupati Achmad Fauzi dedikasi guru ngaji diapresiasi dalam rangka membangun pendidikan ke depan. Keadaan ini tentu akan memudahkan pemerintah melakukan negosiasi dalam menjalankan regulasi penanggulangan.

*) Santri Ponpes Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep

KPU Bangkalan