Hari itu saya menemui seorang suhu dari Jakarta yang sudah lebih dulu tiba di Kawi. Ia menunggu di lobi Hotel Gunung Kawi.
Hotel ini sekelas bintang tiga. Yang membangun konglomerat Liem Sioe Liong almarhum. Bukan sebagai investasi. Ia tidak memiliki hotel itu. Ia hanya ingin agar di Kawi ada fasilitas seperti itu.
Pemilik hotel tetap penduduk setempat. Pemilik lahan di situ. Ia orang Tionghoa. Sudah turun-temurun lahir di situ.
Kawi memang gabungan unik Islam, Tionghoa, dan Kejawen. Di depan hotel ini ada tempat semedi yang besar.
Suhu itu ternyata membawa rombongan. Termasuk orang dari Malaysia. Dari hotel kami pun menapaki jalan menanjak menuju gerbang Kawi. Saya berhenti sebentar untuk bertanya soal padepokan tempat semedi itu.
Dari gerbang itu kami terus menanjak. Melewati toko-toko baru yang dibangun Yana. Lalu di kanan jalan terlihat masjid Agung tadi. Di kiri jalan ada gedung hijau: tempat pergelaran wayang.
Di Kawi lah pertunjukan wayang terbanyak se Indonesia. Saking banyaknya, satu malam bisa ada dua pertunjukan.
Di gedung itu sudah tersedia gamelan, pakeliran berikut penabuhnnya. Dalangnya bisa dibawa dari luar tapi lebih banyak menggunakan dalang domestik.
Setelah masjid Agung itulah, juga di kanan jalan, kelenteng Dewi Kwan Im berada.
Baik masjid maupun kelenteng yang membiayai pembangunannya sama: Liem Sioe Liong.
Di seberang kelenteng itu, kata di kiri jalan ada bangunan sanggar pemujaan. Kelihatannya untuk aliran Kejawen.
Komentar