Kiai Abdul Mannan, Buju’ Kosambi; Bertaqorrub Selama 40 Tahun

×

Kiai Abdul Mannan, Buju’ Kosambi; Bertaqorrub Selama 40 Tahun

Sebarkan artikel ini
Kiai Abdul Mannan, Buju' Kosambi; Bertaqorrub Selama 40 Tahun
Pasarean Kiai Abdul Mannan di Batu Ampar, Pangbathok, Proppo, Pamekasan. (Foto Johar/Mata Madura)

Nama Buju’ Kosambi atau Kiai Abdul Manan senantiasa terukir dalam sejarah Asta Batu Ampar Barat, Pamekasan. Beliau juga merupakan cikal-bakal keramat di tanah tersebut.

MataMaduraNews.comPAMEKASAN-Kiai Abdul Manan berasal dari Madura Barat. Dalam catatan silsilah Buju’ Batuampar Barat, beliau adalah putra dari Syarif Husain, Banyu Sangka, Bangkalan. Syarif Husain sebenarnya merupakan ulama pendatang. Beliau masih keturunan Sunan Ampel, Surabaya, Imam Wali Sanga di tanah Jawa.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Syarif Husain konon wafat terbunuh akibat kesalah-pahaman dengan salah satu penguasa di negeri Bangkalan. Tidak jelas di masa pemerintahan siapa. Karena peristiwa tersebut, kedua putra Syarif, yaitu Abdul Mannan dan Abdurrahman hijrah dari tanah tempat sang ayah terbunuh. Tindakan ini dilakukan selain atas perintah Syarif Husain juga demi mewujudkan cita-cita mulia sang ayah. Dalam perjalanan hijrahnya, keduanya memutuskan berpisah. Abdurrahman pergi ke desa Bira,  Sampang;  Abdul Mannan  ke Batu Ampar, Proppo, Pamekasan.

Saat itu, dua tempat yang dituju oleh kedua putra Syarif Husain tersebut masih berupa sebuah bukit tak berpenghuni dan jauh dari pemukiman. Tempat itu dipilih karena keduanya memang ingin melakukan uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian untuk memfokuskan taqarrub dan ibadah kepada Allah SWT.

Begitu tiba di Batu Ampar, Abdul Mannan melihat sebuah sinar putih dari pohon Kosambi (Kesambi). Saat itu beliau lantas berkata, “Mungkin ini pilihan yang tepat untuk tempat hijrah. Maka di sinilah aku akan memulai hijrahku dengan taqorrub kepada Allah SWT agar mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Allah SWT”.

BACA JUGA: Raden Macan Alas, Keramat Agung Tanah Waru

Setelah itu beliau bertirakat di pohon kesambi itu selama empat puluh tahun. Sekadar ilustrasi, pohon kesambi tempat tirakat beliau itu terletak di atas bukit yang dikelilingi pohon bambu. Di dekat pohon kosambi itu ada sebuah sumur yang disebut sumur “Todhungi”. Sumur inilah yang menjadi tempat  keperluan beliau untuk minum dan wudhu’.

Atas kejadian tersebut, dalam buku Manaqib Buju’ Batu Ampar yang bersumber pada Kiai Haji Jakfar Shodiq Fauzi, Abdul Mannan kemudian me-nisbat-kan dirinya kepada pohon kosambi dengan  sebutan sebagai Buju’ Kosambi. Nisbat (pengkaitan makna) dirinya dengan pohon kesambi adalah manifestasi akhlak beliau yang tinggi termasuk kepada alam, tumbuhan. Dengan kata lain, secara tersirat ada tarbiyah (pendidikan) yang ingin disampaikan beliau bahwa beliau juga berterima kasih kepada pohon kosambi yang telah setia menemani perjalanan tirakatnya.

Secara antropologis, sebutan Buju’ Kosambi  bukanlah nama biasa. Di dalamnya terkandung semangat perjuangan, semangat dakwah, semangat keilmuan, dan utamanya semangat taqorrub ilallah.

Sayangnya pohon kosambi yang menjadi tempat bersejarah tersebut kini tinggal akarnya karena sudah rapuh karena usia dan sering diambil oleh peziarah.

***

Kiai Abdul Mannan, Buju' Kosambi; Bertaqorrub Selama 40 Tahun
Pintu masuk ke kompleks Pasarean Buju’ Batu Ampar di Batu Ampar, Pangbathok, Proppo, Pamekasan. (Foto Johar/Mata Madura)

Setelah selesai tirakat, Buju’ Kosambi memulai meneruskan perjuangan ayahnya dengan cara membuka padepokan kecil. Di padepokan kecil tersebut Buju’ Kosambi merekrut pemuda-pemuda kampung untuk diajari seni beladiri sekaligus penggemblengan ilmu agama dan pembinaan taqorrub  kepada Allah SWT.

Strategi yang Buju’ Kosambi pilih sangat tepat mengingat saat itu masyarakat sedang dalam keadaan tertindas oleh kekuatan bromocorah. Bahkan waktu itu, kehidupan di wilayah Proppo masih sangat rawan dengan aksi perampokan dan pencurian.

Di padepokan kecil tersebut, Buju’ Kosambi melakukan pembinaan pemuda desa dan masyarakat umum dengan kegiatan bela diri, shalat berjemaah, istighfar, pembacaan shalawat, serta pengajian  tentang akhlaqul karimah, dan tauhid.

BACA JUGA: Kiai Parongpong; Cikal-bakal Duet Ulama-Umara

Dengan bekal beladiri dan penggemblengan ilmu karomah, perlahan-lahan masyrakat mulai bisa membangun kekuatannya melawan kekuatan bromocorah. Karomah Buju’ Kosambi yang ditopang ilmu beliau serta tutur kata yang penuh kelembutan dan kearifan yang mumpuni telah mampu merubah situasi masyarakat yang resah (akan ancaman-ancaman bromocorah) menjadi kehidupan yang tenang.

Kabar tentang karisma, karomah, dan tutur kata Buju’ Kosambi tersebut akhirnya sampai kepada petinggi Desa Kobasanah. Sang petinggi desa pun mulai tertarik dengan keshalehannya. Setiap hari sang petinggi desa itu selalu menyimak informasi tentang perjuangannya yang sangat tinggi untuk menciptakan kesalehan dan kearifan penduduk sekitarnya kepada Allah SWT.

***

Setelah hari demi hari menyimak pengajian dan mengamati dari dekat kehidupan Buju’ Kosambi, petinggi Desa Kobasanah akhirnya memutuskan untuk menjadikan Buju’ Kosambi sebagai menantunya. Petinggi  Desa Kobasanah ingin agar Buju’ Kosambi bisa menggantikan kepemimpinannya sekaligus membimbing keluarga dan masyarakatnya ke jalan yang benar dan jalan yang lurus.

Atas pinangan petinggi Desa Kobasanah, Buju’ Kosambi melakukan istikharah kepada Allah SWT. Setelah melakukan shalat istikharah, beliau menerima pinangan tersebut untuk menentukan pendamping hidupnya yang akan membantu perjuangannya untuk meneruskan cita-cita da’wah sang ayah di Pulau Garam ini.

Kemudian Buju’ Kosambi segera melamar gadis putri sang petinggi desa (Bujuk Kobesanah) yang bernama Maisurah atau yang dikenal dengan nama Mai. Dari perkawinannya tersebut, beliau dikaruniai empat orang anak tiga laki-laki dan satu perempuan. Mereka ialah Kiai Abdurrahman alias Batsaniyah (Buju’ Tompeng), Kiai Abdul Faqih, Kiai Abbas (Abdul Kasan), dan Nyai Siti Fathimah. Buju’ Tompeng ini adalah ayah dari Kiai Abu Syamsuddin alias Buju’ Latthong yang terkenal itu.

R B M Farhan Muzammily, Mata Madura

KPU Bangkalan