Budaya

Ritual Tarung Ojung

×

Ritual Tarung Ojung

Sebarkan artikel ini
FIGHTING: Dua pemain Ojung bertarung dengan total, Selasa (17/05) kemarin. (Foto/Farhan))
FIGHTING: Dua pemain Ojung bertarung dengan total, Selasa (17/05) kemarin. (Foto/Farhan))

Berawal dari sebuah ritual di masa lampau, kini menjadi seni tarung yang langka. Dengan sebilah rotan yang dikepang, terdengar bunyi lecutan bersamaan dengan tergoresnya kulit.

MataMaduraNews.com, SUMENEP – Tradisi atau budaya yang merupakan warisan kearifan lokal di Madura sudah banyak yang berserakan bahkan terkubur. Popularitasnya sudah mulai tenggelam seiiring perubahan jaman. Salah satu di antaranya ialah ritual Ojung.

“Ojung ini merupakan salah satu budaya Madura yang tertua. Bahkan diperkirakan sudah ada di masa pemerintahan Aria Wiraraja,” kata salah satu Budayawan Sumenep, Edhi Setiawan, pada Mata Madura, Selasa senja, 17 Mei 2016 lalu.

Asumsi Edhi didasarkan pada fakta lapangan bahwa ritual ini salah satunya hidup di wilayah Kecamatan Batuputih, Kabupaten Sumenep. Sedangkan dulu, Batuputih merupakan pusat pemerintahan Aria Wiraraja. “Lalu juga di Banasare Kecamatan Rubaru, tradisi ini juga masih dilestarikan. Kita kan tahu Banasare dulu juga termasuk pusat pemerintahan di Sumenep,” kata Edhi yang kala itu hadir dalam ritual Ojung di Desa Batuputih Daya, Kecamatan Batuputih, bersama tabloid ini.

Asumsi lain fotografer kenamaan ini berdasar pada aksi para pelaku atau istilahnya pemain atau petarung yang sudah ebukot atau disandingkan  dalam ritual tersebut, yang jika diteliti seksama memang jauh dari budaya atau peradaban Islam. Aksi ini agak diwarnai kekerasan meski hanya berlangsung sekitar 3 menit.

Dalam pantaun Mata Madura, ritual Ojung digelar di sebuah panggung buatan berukuran 1 x 2 meter. Panggung buatan itu diberi batas tengah yang masing-masing ditempati seorang pemain. Pemain berjenis kelamin lelaki dan diberi sejenis pecut atau cambuk rotan sepanjang lebih kurang 1 meter yang memiliki pentolan bergigi pada ojung atau ujungnya. Cambuk rotan itu terdiri dari tiga lapis yang dikepang. Sementara di tangan kiri diberi pengaman yang fungsinya sebagai penangkis serangan (panangkes), dan di bagian kepala juga diberi pengaman yang dikemas secara khusus yang selanjutnya disebut bukot, mengacu pada istilah ebukot di atas.

Di antara dua pemain tersebut ada seorang penengah atau wasit, yang tugasnya mengatur pertandingan. Setelah kedua pemain siap maka dimulailah adu cambuk antara kedua pemain yang sasarannya ialah tubuh bagian atas. “Namun dilarang melakukan gerakan menusuk, dan kaki pemain juga tak boleh melewati batas. Yang banyak mengenai sasaran ialah pemenangnya, atau dikatakan kalah jika ada yang terluka lebih dulu maupun yang cambuknya terjatuh lebih dulu,” kata Suto, wasit kala itu.

Selama masa permainan tarung tersebut, dimainkan juga musik tradisional yang disebut okol. Musik tersebut dimainkan untuk mengiringi kejung Madura sekaligus ritme permainan kedua petarung. “Musik ini sudah mulai langka sekarang, termasuk juga alat musiknya yang salah satunya dibuat dari akar pohon siwalan,” kata Edhi Setiawan.

Sementara untuk menentukan siapa pemain, terkadang melalui sistem tantangan, atau juga melalui penunjukan. Atau para penonton yang bersedia main dalam ritual ini dipersilakan mencari lawan seimbang. Jika keduanya sudah siap, maka mulailah melepas baju. “Ya, tidak jarang biasanya mundur salah satu atau tidak menerima tantangan kalau dianggap lawannya lebih besar secara fisik misalnya,” ujar Edhi.

Untuk itu, tidak sedikit dari para pemain atau petarung dalam ritual ini yang membekali dirinya dengan latihan fisik, seperti melatih kecepatan memukul dan kegesitan dalam menangkis serangan. Malah konon, ada juga yang memakai perantara sejenis jimat. “Tapi kebanyakan yang saya lihat tetap terluka,” kata Edhi sambil tertawa kecil.

Permainan ini memang tak jarang menyisakan banyak bekas cambukan meski tidak begitu serius. Tak hanya pemain, malah wasit juga acapkali didarati hantaman cambuk pemain. “Ya, karena sebagai wasit kan juga tidak semata mengatur dimulainya pertandingan, atau mengawasi permainan. Namun juga harus menghentikan permainan jika dipandang perlu. Seperti jika ada pemain yang terluka serius, atau berat sebelah lawannya. Nah, di saat itu kan masih saling menyerang, jadi memang kemungkinan kena sabetan cambuk ojung itu tentu saja sangat besar,” cerita Suto.

Lalu kenapa disebut ritual? Ojung, secara historis merupakan salah satu gelar doa untuk mendatangkan hujan atau sumber mata air. Di jaman dulu, pemain Ojung melakukan ritual ini dengan suka rela. “Tapi kalau sekarang pemainnya dibayar,” ungkap Suto.

Bahkan dewasa ini di Kecamatan Batuputih, Ojung dilombakan setiap pekannya. Sementara khusus ritual dilakukan setiap tahun. Tahun ini sudah berlangsung beberapa kali, salah satunya, Selasa pekan kemarin. “Masih tinggal dua kali pementasan. Lalu istirahat di bulan Ramadlan. Kemudian lanjut lagi setelah hari raya, sampai selesai,” kata Suto.

Uniknya lagi, Ojung berlangsung secara fair. Tidak ada saling dendam atau permusuhan antar pemain Ojung. Namun saat dipanggung aksinya pun total. “Tak ada teman atau famili, langsung disantap dengan cambuk,” tutup Suto sambil tersenyum. (R B M Farhan Muzammily)

KPU Bangkalan