Catatan

Sisa Hidup Sang Jenderal

×

Sisa Hidup Sang Jenderal

Sebarkan artikel ini
Sisa Hidup Sang Jenderal
Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Moeldoko, S.I.P

Catatan: Sirikit Syah

matamaduranews.com-Di antara berbagai perasaan yang berkecamuk dalam kaitan dinamika sosial politik Indonesia beberapa hari ini, perasaan yang paling kuat adalah rasa kasihan.

Ya, kasihan, mengalahkan rasa kaget, heran, marah, merasa bodoh, dan seabreg rasa negatif lainnya. Ujung-ujungnya saya cuma kasihan.

Kasihan sekali seorang jendral mengisi sisa hidupnya dengan perilaku yang melanggar etika dan moral, secara manusiawi, kepartaian, bahkan kebangsaan.

Beberapa minggu yang lalu kehebohan dimulai dengan berita AHY bersurat pada Presiden, menanyakan apakah benar ada “orang dalam istana” yang hendak mengkudeta Partai Demokrat.

Surat klarifikasi saja. Surat tidak dijawab. Tapi yang merasa tersindir kemudian melakukan beberapa kali wawancara khusus dengan media, termasuk melakukan jumpa pers. Isi pesannya: membantah isu tersebut.

Banyak ‘kader’ datang kepadanya, dikatakannya “Pintu rumah saya selalu terbuka”. Kelak terbukti bahwa pertemuan bukan di rumahnya, melainkan di hotel. Para ‘kader’ itu dikatakannya “Cuma mau foto-foto sama saya”. Kelak ternyata, mereka diiming-imingi uang ‘bantuan sosial’ dan dibujuk untuk melengserkan Ketum PD, AHY.

Semua bantahan hingga, ibaratnya, “mulutnya berbusa-busa” itu menjadi gembos ketika kemarin seluruh rakyat Indonesia menyaksikan bahwa upaya kudeta itu dilaksanakan, dengan diselenggarakannya KLB di Sumut. Ibarat lagu “Oo kamu ketahuan …”, biasanya kalau ketahuan, pelaku akan malu lalu urungkan niat.

Ini pelaku memang luar biasa tebal rasa malunya: sudah ketahuan, dibantah, tetap saja dilakukan.

Menurut catatan yang saya himpun dari media arusutama maupun media sosial, kegiatan ini memiliki banyak cacat: kemungkinan melanggar hukum karena tak ada izin keramaian dari polisi, tak dihadiri wakil-wakil DPC dan DPD Partai Demokrat, melanggar etika kepartaian, melanggar prokes karena bikin kerumunan (kabarnya 400an orang), melanggar sila ketiga Pancasila (Persatuan Bangsa).

Masih ada lagi: KLB juga melanggar kharisma kepresidenan dan mempermalukan istana (Kepala Staf Kepresidenan kok kudeta partai orang?), ada dugaan praktik suap (money politics), memberi pendidikan politik yg buruk, memberi contoh buruk moral dan akhlak, mencatat rekor KLB tersingkat – dalam 40 menit langsung terpilih ketumnya (menandakan sudah disetting dan KLB hanya upaya formalitas saja). Nah, dari semua kecacatan itu, pertanyaan pentingnya: siapa yang hadir, bila bukan wakil DPC dan DPD?

Sungguh kasihan.

Sisa hidup sang jendral dicorenginya sendiri dengan perilaku tak bisa dipercaya (sudah membantah, tapi melakukan), “merampok” (bukannya membangun partai sendiri, tapi “merampok” partai orang), memecah belah bangsa, tidak menjaga rasa hormat, sikap santun, dan watak ksatria sebagai tentara.

Tentu sebagian rakyat akan heran juga, presiden dimana? Kok diam saja? Pak Jendral sudah bilang: “Jangan ganggu presiden, ini urusan saya.” Tapi kalau Anda majikan, lalu pembantu Anda merampok rumah orang, masak Anda diam saja? Minimal kan pembantu Anda itu dipecat? Dan dilaporkan polisi? Ini pak bos kok diam saja?

Ada warga yang lapor rumahnya diusik juga tidak dijawab. Apakah benar presiden tidak turut campur? Atau tidak peduli dengan kekacauan yang timbul? Atau malah merestui? Rakyat bertanya dan belum ada yang menjawab.

Sebagai orangtua, saya merasa miris melihat perilaku yang dipertontonkan, contoh moral dan akhlak yang salah. Apalagi, dalam peta jalan pendidikan bangsa yang sedang dirumuskan oleh Mas Menteri, tidak ada kata “agama”.

Agama benar-benar dipisahkan dari wilayah publik (dalam hal ini sekolah), dan dipinggirkan ke ranah privat. Padahal, watak dan karakter, moral dan akhlak, itu umumnya berawal dari pendidikan agama yang baik. Semua agama mengajarkan “jangan mencuri”, “jangan berbohong”.

Kepada siapa anak-anak dan cucu-cucu kita kelak meneladani? Merebut partai orang, biasa. Membantah sesuatu tetapi tetap melakukannya, biasa. Menjadi politisi, menjadi calon presiden, bisa dengan cara-cara immoral. Kalau proses menjadi presidennya saja begini, bagaimana kelak kalau menjadi presiden?

Apakah Pak Jendral memang ingin menjadi presiden? Itu masih tiga tahun lagi. Semoga sehat dan panjang umur hingga tiba waktunya.

Tapi, generasi mana yang akan mencoblosnya? Bukankah dia bagian dari masa lalu? Atau, apakah dia hanya barisan pembasmi rintangan, untuk memberi jalan pada calon lain yang telah disiapkan dengan bebagai strategi pengamanan?

Entahlah.

Apapun perasaan kita saat ini, mari kita doakan agar Pak Jendral panjang umur, sehat selalu, dan dikembalikan jiwa ksatrianya sebelum terlambat.

sumber: kempalan.com

KPU Bangkalan