Melewati empat jaman dan menempati bahasa terbesar ketiga, kondisi Bahasa Madura tidaklah sehat. Terganjal ejaan dan nada dalam pengucapan.
MataMaduraNews.com – Penutur bahasa Madura lebih dari sepuluh kabupaten di kawasan provinsi Jawa Timur. Empat di antaranya di pulau Madura sendiri. Tidak salah kemudian jika bahasa Madura berpredikat lingua franca. Bahkan, di luar Provinsi Jawa Timur banyak tersebar keturunan orang-orang Madura yang lengkap dengan simbol dan jargon-jargonnya. Hal ini menempatkan bahasa Madura sebagai bahasa terbesar ketiga setelah bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Luar biasanya lagi klan ini juga merambah luar domestik; di tanah Saudi Arabia, bahkan ada komunitas yang dikenal dengan keluarga Mandurah.
_______________
Kendati memiliki puluhan juta penutur, kondisi bahasa Madura tidaklah sehat. Bahasa Madura jatuh sakit. Sebabnya beragam. Disamping bukan bahasa high (kelas tinggi), bahasa Madura berbeda dengan bahasa daerah lain di Indonesia. Bahasa Madura masih terganjal masalah ejaan.
“Padahal, saya kira sudah final dengan adanya sarasehan Bahasa Madura tahun 1973. Nah, ini mulai ada lagi yang ikut Balai Pustaka untuk dikembalikan ke ejaan lama, dan mau disinkronkan dengan ejaan bahasa Indonesia. Lha, kalau begini ‘kan kemunduran namanya,†kata salah satu praktisi Bahasa Madura, Haji Ahmad Baisuni.
Menurut Baisuni, ejaan hasil sarasehan di Pamekasan tahun 1973 merupakan ejaan yang paling baku. Paling-paling menurut Baisuni kalau terpaksa dirinya mengaku bisa menerima jika huruf /e/ taleng (/è/) diberi tanda diakritik sebagaimana EYD.
“Seperti kata toles misalnya. Saya sepakat kalau itu mau diberi tanda, untuk membedakan dengan vocal /e/ petpet,†tambahnya.
Disamping itu bahasa Madura memerlukan huruf pelancar dalam beberapa kata asalnya, sehingga konsep EYD di dalamnya tidak bisa disandingkan. Baisuni mencontohkan kata toa ketika dijadikan kata rangkep buto (reduplikasi) maka akan menjadi toa-toa.
“Namun ketika harus diringkas dengan membuang suku kata awal maka akan dieja menjadi a-toa. Sehingga ketika dilafalkan kata tersebut menjadi hilang maknanya. Maka diberilah huruf pelancar /w/ dan dieja wa-towa,†jelasnya.
Saat Bahasa Madura Menjadi Asing
Sebagai warga Madura, adalah wajar jika yang bersangkutan tidak tahu dan mempelajari bahasa ibu warga daerah lain atau negara lain. Namun yang sangat tidak wajar—kalau tidak mau disebut aneh—dan sangat memprihatinkan saat warga Madura sendiri sudah mulai merasa asing dengan bahasa sehari-harinya.
“Tapi harus diakui, fenomena ini sudah banyak terlihat. Di beberapa tempat di Sumenep, saya jumpai banyak anak asli Madura yang kursus bahasa Madura,†kata Doktor Muhammad Saidi, M.Pd., MM, salah satu pemerhati Bahasa Madura pada Mata Madura beberapa waktu lalu.
Orang Madura kursus Bahasa Inggris menurut Saidi wajar, begitu juga kursus bahasa Arab, Jepang, dan bahasa asing lainnya. Sedangkan saat orang Madura mulai kursus bahasa daerahnya, bukan hanya tidak wajar, namun merupakan suatu fenomena yang langka.
“Saya sangat heran. Berarti kepedulian terhadap pelestarian bahasa Madura sudah hampir punah. Padahal ini adalah identitas dan jati diri kita. Saya kira lucu, saat orang Madura sendiri sudah lupa atau bahkan buta pada bahasa ibunya,†tambah pria kelahiran 16 Juli 1966 silam ini.
Tapi Saidi memang mengakui bahwa bahasa Madura merupakan bahasa yang sulit dipelajari. Ia membandingkan mempelajari bahasa Madura dengan bahasa Inggris, bagi pelajar yang murni buta pada kedua bahasa tersebut, disebutnya akan lebih mudah mempelajari bahasa Inggris.
“Salah satu letak sulitnya karena bahasa Madura ini bahasa nada, seperti Cina. Contohnya pada kata baja. Ada empat makna, tapi artinya beda. Dua diantaranya dilafalkan sama namun beda arti. Seperti baja bisa berarti waktu, kemudian baja yang artinya cucu, dan baja yang berarti gigi. Kemudian juga baja yang merupakan salah satu jenis binatang reptil yaitu buaya. Sehingga untuk membedakannya bisa dilihat dari kalimat yang mengiringi kata-kata tersebut,†jelas Saidi.
Ada lagi kata badha (ada), badda (wadah), bedda’ (bedak), bedda (sobek). Keempatnya hampir sama pelafalannya, tapi arti keempatnya beda. Belum lagi tanda baca hamza atau bhisat (‘) yang menurut salah satu menantu Raden Panji Abdus Sukur Notoasmoro ini memiliki makna tersendiri. Sehingga keberadaannya tidak bisa dihilangkan.
“Ini seperti yang diajarkan ayah mertua saya, bapak Sukur. Seperti kata emma’ (ibu) dan emmak (kakak lelaki) itu artinya beda. Sedangkan kalau bahasa Indonesia, kata berakhiran huruf “k†itu tidak bermakna ganda. Lemak misalnya, kendati ditulis lema’, artinya tetap sama. Satu-satunya kata dalam bahasa Indonesia yang bermakna ganda hanya kata ‘salak’. Salak bisa berarti buah, salak juga berarti menyalak atau gonggongan anjing,†jelasnya panjang lebar. (R B M Farhan Muzammily)
Sejarah Singkat Ejaan Bahasa Madura & Peran Tim Nabara Sumenep, selengkapnya baca di Tabloid Mata Madura Edisi Perdana / 11 Mei 2016!