Oleh: Jazuli Muthar*
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!matamaduranews.com-Al-Ghazali menyebut tangga maqamat meliputi uzlah, khalwat, riyadlah (olah jiwa) dan mujahadah (sungguh-sungguh).
Hal ini perlu dilakukan salik sebelum merasakan (dzauq) dari hasil amaliahnya. Kata al-Ghazali, saat khalwat seorang salik akan menemukan rahasia yang tak terhingga sebagai tahap awal menuju musyahadah (penyaksian yang Haq). Kemudian meningkat pada mukasyafah (tersingkapnya hijab).
Walau dalam keadaan sadar, jelas al-Ghazali, si salik akan bertemu para malaikat, arwah para Nabi dan Rasul kemudian naik pada tingkatan lebih tinggi yang tidak bisa dilukisakan dengan kata-kata, yaitu makrifatullah.
Konsep maqamat yang dirumuskan al-Ghazali berbeda dengan Ibnu Athaillah yang merumuskan sembilan (9) maqamat (station) yang perlu ditempuh para salik agar bisa sampai (wushul) kepada Allah Swt. Yaitu; tobat, zuhud, shabar, syukr, khauf, raja’, ridla, tawakkal, dan mahabbah.
Bisa jadi perbedanaan konsep maqamat terletak dari definisi yang berasal dari masing-masing pengalaman yang berbeda antara al-Ghazali dan Ibn Athaillah.
Seperti diketahui, al-Ghazali memasuki dunia tasawuf setelah sang adik, Ahmad al-Ghazali, nggan bermakmum dalam shalat waktu sang al-Ghazali menjadi imam.
Dalam pemikiran al-Ghazali, ilmu pengetahuan yang dikuasai selama ini sebatas ilmu wacana, bukan ilmu sejati yang mengantarkan dirinya mengenal Allah Swt.
Karena itu, al-Ghazali beralih dari dunia intelektual ke dunia sufi yang diawali dengan sikap uzlah melalui bimbingan guru spiritual yang ditunjukkan oleh sang adik, Ahmad al-Ghazali.
Ibnu Athaillah memasuki dunia sufi melalui tahapan taubat karena sebelum memasuki dunia tasawuf. Beliau melalui perjalanan sebagaimana dijelaskan dalam kitab Lathaif al-Minan.
“Kakek saya tidak setuju dengan dunia tasawuf. Kakek saya fanatik pada ilmu fiqih,” tulis Ibn Athaillah dalam kitabnya.
“Dulu termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, sebelum menjadi murid beliau, testimoni Ibnu Athaillah.
Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya,†.
Bersambung..