Pendidikan

Guru Otodidak Anak-anak Gili Labak

×

Guru Otodidak Anak-anak Gili Labak

Sebarkan artikel ini
CURHAT: Rindi (kanan) berbincang dengan Neng Virzan, putri sulung Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim, saat berkunjung bersama komunitasnya awal Februari lalu. (Foto/A. Warits)
CURHAT: Rindi (kanan) berbincang dengan Neng Virzan, putri sulung Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim, saat berkunjung bersama komunitasnya awal Februari lalu. (Foto/A. Warits)

matamaduranews.com-SUMENEP – Rindi Wiriandani tak pernah menyangka kehadirannya di Pulau Tikus akan lebih dari sekedar menjadi seorang istri.

Dia lahir dan besar di Desa Essang, Pulau Poteran, Kecamatan Talango, takdir cinta membawanya hidup diantara sekitar 15 keluarga RT 005 RW 003 Desa Kombang, Pulau Gili Labak, Kecamatan Talango. Sebuah surga tersembunyi yang menyimpan pasir putih dan terumbu karang nan alami.

Tempatnya kini mengabdi kepada sang suami juga warga sekitar yang tak pernah merasakan kerasnya bangku sekolah demi mengais secuil ilmu pengetahuan.

Usianya memang sangat belia. Namun kesenjangan yang ditemukannya setiap hari sungguh tak memandang batas dan usia. Apalagi situasi dan kondisi sekitar seperti mendukungnya begitu saja. Memberi jalan untuk mulai mengambil langkah, menuntun anak-anak sekitar bangkit dari kebodohan meski tanpa fasilitas pendidikan.

“Awalnya anak-anak yang meminta saya untuk ngajarin mereka,” katanya, saat berbincang dengan Mata Sumenep, pekan pertama Februari lalu.

Rindi pun mengaku tak tahu alasan anak-anak tetangganya itu. Seingatnya, sejak tiba di pulau yang kini jadi idola destinasi wisata snorkeling dan diving di Kabupaten Sumenep ini, anak-anak sekitar datang begitu saja sambil membawa buku. “Katanya mereka seneng sama saya,” ujar Rindi, apa adanya.

Terpanggil untuk Berbagi
Rupanya tak hanya menjadi awal, kenyataan tersebut semakin menusuk nurani Rindi, membuka mata hatinya untuk segera berbuat sesuatu. Bahwa jagoan-jagoan kecil yang mendatangi rumahnya dengan polos itu berhak mendapat pendidikan. Sebab sebagai orang yang pernah merasakan manisnya ilmu pengetahuan hingga bangku sekolah menengah pertama, nuraninya menolak apabila di jaman yang sudah tercerahkan ini masih ada generasi yang tertinggal dalam kebodohan.

“Makanya saya langsung mau. Seneng aja bisa ngajarin mereka,” kata perempuan 19 tahun itu.

Apalagi sebagai menantu Pak RT. Posisinya semakin mendukung untuk berbagi di tengah tumpuan harapan masyarakat Pulau Gili Labak. Dan karena otomatis menjadi seorang figur, dengan mudahnya ia mendapat peran sehingga bisa berbagi sedikit ilmu dengan anak didiknya yang hanya berjumlah 3 orang. Anak-anak usia emas yang seharusnya menikmati Play Group, Taman Kanak-Kanak (TK), bahkan Sekolah Dasar (SD) dengan damai.

Kondisi itulah, kata Rindi, yang mengantarnya menjadi guru otodidak sejak 2014 lalu. Meski tak siap, rasa kasihan lebih memanggilnya untuk berbuat. “Saya kasihan sama anak-anak disini. Saya jadi ingin mereka bisa membaca, agar tak bernasib sama dengan orang tuanya,” terangnya kepada Mata Sumenep.

Memang tak banyak yang bisa ia lakukan. Selain baca-tulis, hanya berhitung dan mengaji Al-Qur’an yang terus diajarkan dengan keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan. Di langgar mertuanya yang menjadi tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, hanya terdapat sebuah papan dan kapur tulis sebagai fasilitas belajar. Itupun hanya sisa dari sekolah yang bangunannya kini sudah rata dengan tanah. Menurut masyarakat sekitar, sekolah itu ditutup lantaran di masa lalu tak ada tenaga pengajar yang kerasan tinggal disana.

Motivasi Anak-anak untuk Sekolah
Selama satu tahun, perempuan kelahiran 25 Desember 1997 itu telaten mengajari 3 orang anak berusia 5, 6 dan 7 tahun di rumahnya. Tak ada kendala yang berarti ia hadapi lantaran memang tak terdapat dinamika kelas sebagaimana biasanya. Hingga di bulan Juni 2015 kemarin, ia tak lagi mengajar karena harus merantau ke Jakarta.

Di perantauan, Rindi hanya menghabiskan waktu dua bulan. Ia berdalih tak kerasan karena selalu memikirkan nasib anak didik yang ditinggalkan. Namun meski sebentar, ia tetap meminta anak-anak agar sekolah ke Pulau Poteran. Sebab di pulau yang menjadi pusat Kecamatan Talango itu, ia percaya masa depan mereka lebih terjamin dengan pendidikan.

Dengan dorongan Rindi, anak-anak itu pun akhirnya mau sekolah di Talango. Meski dengan itu hingga kini ia tak lagi punya murid baru, kata Rindi, itu lebih baik. “Soalnya disini saya kan cuma ngajarin mereka apa adanya, gak ada ijin dan fasilitas belajar-mengajar yang memadai,” dalihnya.

Sejauh ini, Rindi mengaku bahagia berhasil mendorong anak-anak yang sebenarnya enggan menempuh pendidikan di Kecamatan Talango lantaran harus meninggalkan orang tua atau harus bolak-balik jalur laut 1-2 jam dengan cuaca yang kadang tidak menentu. Akan tetapi, ia masih punya harapan lain yang ingin diwujudkan oleh Pemerintah Kabupaten Sumenep untuk Pulau Gili Labak. “Pengen sekali disini ada sekolah,” kata Rindi, mengutarkan harapannya.

Sama halnya dengan Rindi, para orang tua disana juga menginginkan adanya lembaga pendidikan yang sebenarnya. Sebab demi menimba ilmu pengetahuan, setiap anak harus berpisah dari orang tua mereka untuk tinggal bersama famili atau sanak saudara di Pulau Poteran Talango. Selain itu, jika masih tak ada lembaga pendidikan dalam setahun kedepan, sudah pasti beberapa anak yang kini masih berusia 2-3 tahun bakal Rindi didik sebisanya, berbekal ilmu dan fasilitas ala kadarnya. (rfq)

KPU Bangkalan